Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: "... Oleh karena itu, kami mentarjih (menguatkan) bahwa shalat 'Ied itu wajib bagi setiap individu muslim, sebagaimana pendapat Abu Hanifah [1] dan lain-lainnya. Dan ini merupakan salah satu pendapat asy-Syafi'i, dan ia merupakan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Ahmad.
Adapun pendapat orang yang mengatakan: 'Tidak wajib,' benar-benar jauh (dari kebenaran), karena ia termasuk salah satu syiar agama Islam yang paling agung. Dan orang-orang yang berkumpul untuk mengerjakannya lebih banyak daripada shalat Jum'at. Di dalamnya disyari'atkan bacaan takbir. Sedangkan pendapat orang yang menyatakan bahwa shalat 'Ied merupakan fardhu kifayah, sama sekali tidak kuat..."[2]
Al-'Allamah asy-Syaukani di dalam kitab as-Sail al-Jarraar (I/315) [3] mengatakan: "Ketahuilah bahwa Nabi shallAllahu 'alaihi wa sallam senantiasa mengerjakan shalat ini pada kedua hari raya ('Iedul Fithri dan 'Iedul Adh-ha), dan tidak pernah meninggalkannya. Dan beiau pun juga memerintahkan ummat Islam untuk berangkat melaksanakannya, bahkan beliau memerintahkan wanita-wanita yang dimerdekakan, [4] wanita-wanita pingitan, dan wanita-wanita haidh untuk mendatanginya. Beliau perintahkan wanita-wanita yang haidh untuk tidak ikut mengerjakan shalat, tetapi hanya menyaksikan kebaikan dan do'a kaum muslimin, bahkan beliau perintahkan wanita yang tidak memiliki jilbab agar temannya meminjamkannya atau memberi jilbab kepadanya." [5]
Semuanya itu menunjukkan bahwa shalat ini wajib yang sangat ditekankan bagi setiap individu dan bukan hanya sekedar fardhu kifayah. Perintah berangkat ke tempat pelaksanaan shalat mengharuskan perintah untuk mengerjakan shalat bagi orang yang tidak berhalangan, dengan (redaksi perintah) khithab yang jelas, karena keluar (berangkat) ke tanah lapang merupakan salah satu jalan untuk sampai kepada pelaksanaan shalat 'Ied. Dan keharusan adanya jalan mengharuskan adanya orang yang sampai kepadanya. Dalam hal itu, kaum pria lebih utama (dalam kewajiban) daripada kaum wanita.
Lebih lanjut, asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: "Di antara dalil yang menunjukkan hukum wajib shalat 'Ied adalah bahwa shalat 'Ied ini bisa menggugurkan shalat Jum'at jika ia bertepatan dalam satu hari. [6] Dan sesuatu yang tidak wajib pasti tidak akan dapat menggugurkan sesuatu yang wajib. Dan telah ditetapkan bahwa Rasulullah shallAllahu 'alaihi wa sallam selalu mengerjakan shalat berjama'ah sejak disyari'atkan sampai beliau meninggaldunia. Keaktifan beliau mengerjakan shalat berjama'ah secara rutin ini disertai dengan perintah beliau kepada ummat Islam agar mereka pergi mengerjakan shalat." [7]
Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam kitab Tamaamul Minnah, hal. 344, setelah menyebutkan hadits Ummu 'Athiyyah, mengatakan: "Hal yang disebutkan itu menunjukkan hukum wajib. Dan jika pergi mengerjakan shalat merupakan hal yang wajib, maka mengerjakan shalat itu sudah pasti lebih wajib, sebagaimana yang bukan rahasia lagi. Dengan demikian, yang benar adalah wajib hukumnya dan tidak hanya sekedar sunnah semata..."
[Ditukil dari kitab Meneladani Rasulullah shallAllahu 'alaihi wa sallam dalam Berhari Raya oleh Syaikh 'Ali Hasan bin 'Ali al-Halabi al-Atsari, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i. Judul asli: Ahkaamul 'Iedain fis Sunnah al-Muthahharah.]
_____________________
Nota kaki:
[1] Lihat kitab Haasyiyatu Ibni 'Abidin (II/166 dan setelahnya).
[2] Majmuu' al-Fataawaa (XXIII/161).
[3] Demikian pula pendapat Shiddiq Hasan Khan di dalam kitab al-Mau'izhah al-Hasanah, hal. 42-43.
[4] Ibnul Atsir berkata di dalam an-Nihaayah (III/179): (عتقت الجارية فهي عاتق) "Saya memerdekakan seorang budak wanita, maka ia pun merdeka."
Juga seperti (حاضت فهي حائض) "Wanita itu haidh."
[5] Semuanya itu ditetapkan di dalam hadits Ummu 'Athiyyah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (324), (351), (971), (974), (980), (981), dan (1652). Juga dikeluarkan oleh Muslim (890), at-Tirmidzi (539), an-Nasa-i (III/180), Ibnu Majah (1307), dan Ahmad (V/84 dan 85).
[6] Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah, ketika hari raya 'Ied bertepatan dengan shalat Jum'at, yaitu pada hari Jum'at, bahwa Rasulullah shallAllahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
اجتمع في يومكم هذا عيدان, فمن شاء أجزأه من الجمعة, وإنا مجمعون
"Telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya (hari raya 'Ied dan hari raya Jum'at). Oleh karena itu, barangsiapa yang menghendaki, maka boleh tidak mengerjakan shalat Jum'at. Namun, kami akan melaksanakan shalat Jum'at." Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1073), Ibnu Majah (1311), dan sanadnya hasan. Lihat juga kitab al-Mughni (II/358), dan juga kitab Majmuu' al-Fataawaa (XXIV/212).
[7] Dalilnya telah dikemukakan sebelumnya. Dan lihat kitab Nailul Authaar (III/382-383), dan kitab ar-Raudhah an-Nadiyyah (I/142).
Adapun pendapat orang yang mengatakan: 'Tidak wajib,' benar-benar jauh (dari kebenaran), karena ia termasuk salah satu syiar agama Islam yang paling agung. Dan orang-orang yang berkumpul untuk mengerjakannya lebih banyak daripada shalat Jum'at. Di dalamnya disyari'atkan bacaan takbir. Sedangkan pendapat orang yang menyatakan bahwa shalat 'Ied merupakan fardhu kifayah, sama sekali tidak kuat..."[2]
Al-'Allamah asy-Syaukani di dalam kitab as-Sail al-Jarraar (I/315) [3] mengatakan: "Ketahuilah bahwa Nabi shallAllahu 'alaihi wa sallam senantiasa mengerjakan shalat ini pada kedua hari raya ('Iedul Fithri dan 'Iedul Adh-ha), dan tidak pernah meninggalkannya. Dan beiau pun juga memerintahkan ummat Islam untuk berangkat melaksanakannya, bahkan beliau memerintahkan wanita-wanita yang dimerdekakan, [4] wanita-wanita pingitan, dan wanita-wanita haidh untuk mendatanginya. Beliau perintahkan wanita-wanita yang haidh untuk tidak ikut mengerjakan shalat, tetapi hanya menyaksikan kebaikan dan do'a kaum muslimin, bahkan beliau perintahkan wanita yang tidak memiliki jilbab agar temannya meminjamkannya atau memberi jilbab kepadanya." [5]
Semuanya itu menunjukkan bahwa shalat ini wajib yang sangat ditekankan bagi setiap individu dan bukan hanya sekedar fardhu kifayah. Perintah berangkat ke tempat pelaksanaan shalat mengharuskan perintah untuk mengerjakan shalat bagi orang yang tidak berhalangan, dengan (redaksi perintah) khithab yang jelas, karena keluar (berangkat) ke tanah lapang merupakan salah satu jalan untuk sampai kepada pelaksanaan shalat 'Ied. Dan keharusan adanya jalan mengharuskan adanya orang yang sampai kepadanya. Dalam hal itu, kaum pria lebih utama (dalam kewajiban) daripada kaum wanita.
Lebih lanjut, asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: "Di antara dalil yang menunjukkan hukum wajib shalat 'Ied adalah bahwa shalat 'Ied ini bisa menggugurkan shalat Jum'at jika ia bertepatan dalam satu hari. [6] Dan sesuatu yang tidak wajib pasti tidak akan dapat menggugurkan sesuatu yang wajib. Dan telah ditetapkan bahwa Rasulullah shallAllahu 'alaihi wa sallam selalu mengerjakan shalat berjama'ah sejak disyari'atkan sampai beliau meninggaldunia. Keaktifan beliau mengerjakan shalat berjama'ah secara rutin ini disertai dengan perintah beliau kepada ummat Islam agar mereka pergi mengerjakan shalat." [7]
Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam kitab Tamaamul Minnah, hal. 344, setelah menyebutkan hadits Ummu 'Athiyyah, mengatakan: "Hal yang disebutkan itu menunjukkan hukum wajib. Dan jika pergi mengerjakan shalat merupakan hal yang wajib, maka mengerjakan shalat itu sudah pasti lebih wajib, sebagaimana yang bukan rahasia lagi. Dengan demikian, yang benar adalah wajib hukumnya dan tidak hanya sekedar sunnah semata..."
[Ditukil dari kitab Meneladani Rasulullah shallAllahu 'alaihi wa sallam dalam Berhari Raya oleh Syaikh 'Ali Hasan bin 'Ali al-Halabi al-Atsari, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i. Judul asli: Ahkaamul 'Iedain fis Sunnah al-Muthahharah.]
_____________________
Nota kaki:
[1] Lihat kitab Haasyiyatu Ibni 'Abidin (II/166 dan setelahnya).
[2] Majmuu' al-Fataawaa (XXIII/161).
[3] Demikian pula pendapat Shiddiq Hasan Khan di dalam kitab al-Mau'izhah al-Hasanah, hal. 42-43.
[4] Ibnul Atsir berkata di dalam an-Nihaayah (III/179): (عتقت الجارية فهي عاتق) "Saya memerdekakan seorang budak wanita, maka ia pun merdeka."
Juga seperti (حاضت فهي حائض) "Wanita itu haidh."
[5] Semuanya itu ditetapkan di dalam hadits Ummu 'Athiyyah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (324), (351), (971), (974), (980), (981), dan (1652). Juga dikeluarkan oleh Muslim (890), at-Tirmidzi (539), an-Nasa-i (III/180), Ibnu Majah (1307), dan Ahmad (V/84 dan 85).
[6] Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah, ketika hari raya 'Ied bertepatan dengan shalat Jum'at, yaitu pada hari Jum'at, bahwa Rasulullah shallAllahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
اجتمع في يومكم هذا عيدان, فمن شاء أجزأه من الجمعة, وإنا مجمعون
"Telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya (hari raya 'Ied dan hari raya Jum'at). Oleh karena itu, barangsiapa yang menghendaki, maka boleh tidak mengerjakan shalat Jum'at. Namun, kami akan melaksanakan shalat Jum'at." Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1073), Ibnu Majah (1311), dan sanadnya hasan. Lihat juga kitab al-Mughni (II/358), dan juga kitab Majmuu' al-Fataawaa (XXIV/212).
[7] Dalilnya telah dikemukakan sebelumnya. Dan lihat kitab Nailul Authaar (III/382-383), dan kitab ar-Raudhah an-Nadiyyah (I/142).
No comments:
Post a Comment