Friday, December 18, 2009

Antara 1 dan 10 Muharram

1 Muharram baru berlalu
Betapa ramai Muslim berpusu-pusu
Menuju ke masjid beramai-ramai
Ada majlis besar yg ingin diraikan
Beramai-ramai menadah tangan mendoakan
Doa akhir/awal tahun diaminkan

Kalau ditanya, "mengapa berbuat demikian?"
Maka dijawab mereka,
"Telah datang tahun baru, ayuhlah kira raikan!"
Ku bertanya kembali, "mengapa perlu kita raikan?"
Lalu dijawab mereka,
"Kalau New Year bersemangat bergembira kita menyambutnya,
Inikan lagi bulan Muharram yang mulia."

Aku buntu..
Begitulah tanggapan
Benarkah demikian?

Aku tertanya, bukankah lebih utama
Di bulan haram yang mulia
Memperingati Hari Asyura dengan berpuasa?
Apakah ramai yang akan mengamalkannya?

Lihatlah nanti, kita kan mengerti
Renungilah tahun-tahun yang lalu, kita kan ketahui
Sambutan kedatangan Muharram
Telah berlaku salah priority

Puasa sunnah yg dianjurkan
Tidak kuasa dilaksanakan
Namun, yang tiada contoh ikutan
Yang dipusu-pusukan

Bukanlah apa, aku hanya khuatirkan
Jika sambutan Awal Muharram sebagaimana tanggapan
Yang telah di atas aku sebutkan
Bukankah ianya seolah penyerupaan
Berpusu-pusunya kuffar, khususnya Nasrani
Menyambut Tahun Baru Masihi?

Imam Ibnu Kathir telah menyebutkan
"Lau kaana khairan
lasabaquuna ilaihi"
(Jika benar ianya suatu kebaikan
Nescaya mereka kan terlebih mendahului)
Mereka yang menjadi ikutan
Setelah Nabi junjungan
Mereka yang wajar dicontohi
Merekalah qurun yang diberkati
Merekalah para Sahabat yang diredhai
Ilahi Rabbi

Jangan pula setelah ini
Ada pembaca yang salah tanggapi
Maksud tujuan puisiku ini
Dengan keikhlasan aku meniatkan
Aku hanya mengingini
Sambutan kedatangan Muharram
Tidak disalah erti
Tidak disalah priority

(c) Ibn Shamsud-Deen
19/12/2009

Tuesday, December 15, 2009

Shaykh Muhammad Al Arifi - Refuting Those Who Claim Islam Is A Strict Religion



http://www.youtube.com/watch?v=obgkblALzN4

Culture Confusion - Abdur Raheem Green



http://www.youtube.com/watch?v=JuECO3unh3o

Sheikh al-Albani - Advice to the Youth who Love to Refute



http://www.youtube.com/watch?v=ogoSEAsS9ho

2 beneficial videos by Abdur Raheem Green and Shaykh Muhammad al-Arifi

Culture Confusion - Abdur Raheem Green:
http://www.youtube.com/watch?v=JuECO3unh3o

Refuting Those Who Claim Islam Is A Strict Religion:
http://www.youtube.com/watch?v=obgkblALzN4

Revive!

It's been some time since I "abandoned" my Multiply.. Have been using a lot of Facebook.. Will try to update more frequently..

Thursday, September 03, 2009

Mencintai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

Ditukil dari Syaikh Ibrahim ar-Ruhaily sebagai berkata:

"Seseorang itu mencintai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan mengikuti Sunnah Baginda (yang shahih), menegakkannya dan membelanya." (aw kama qal)

Dalam kitab Syarhus Sunnah, Imam al-Barbahari menyebutkan dalam poin pertama:

"Ketahuilah bahawasanya sesungguhnya al-Islam itu adalah as-Sunnah, dan as-Sunnah itu adalah al-Islam, tidak tegak salah satu daripadanya melainkan dengan yang lainnya."

Kenyataan yang cukup mendalam. Sungguh benar kerana agama Islam adalah apa yang diwahyukan oleh Allah dan disampaikan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan segala sesuatu yg datang dari Rasulullah shalllallhu 'alaihi wa sallam itulah yang disebutkan as-Sunnah.

Dan sesuatu yang disebutkan as-Sunnah hendaklah yang telah dipastikan keshahihannya kerana bagaimana mungkin kita menerima sesuatu hadith yang diragui keshahihannya untuk dijadikan pegangan dalam agama?

Dan telah pun kita ketahui, sebagaimana dijelas para ulama, bahawa syarat sah ibadah adalah pertama,ikhlas, kedua, ittiba'.

Tidak sah sesuatu ibadah jika tidak ikhlas. Tidak sah juga jika tidak ittiba'us Sunnah, yakni tiada contoh dari as-Sunnah.

Dan harus jika kita mencontohi para Sahabat kerana mereka adalah murid-murid Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka lah yang paling mengerti akan ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Itulah yang membuat Imam Ibnu Kathir mendatangkan konsep Lau kaana khairan la sabaquuna ilaihi. Yakni, jika sesuatu itu baik, nescaya mereka (para Sahabat) akan terlebih dahulu mengamalkannya.

Maka, sebelum kita mengaku mencintai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tanyalah diri kita:
  1. Apakah kita berusaha untuk mengamalkan Sunnah Rasulullah, baik dalam urusan ibadah mahupun selain ibadah?
  2. Apakah yang kita anggap Sunnah itu benar-benar telah dipastikan keshahihannya? Adakah contoh dari para Shahabat ridhwanullahi 'alaihim?
  3. Dan yang lebih utama, adakah Aqidah kita selari dengan Aqidah para Shahabat ridhwanullahi 'alaihim?
Kesimpulannya, orang yang benar-benar mencintai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang Ittiba as-Sunnah (yang shahihah). Dia berpegang kepada al-Qur'an dan as-Sunnah berdasarkan pemahaman kaum Salafusshalih. Itulah Ahlus Sunnah yang sejati.

Wallahu a'lam

Keistimewaan-keistimewaan Sirah dan Dakwah Imam Muhammad bin Abdul Wahhab

[Berikut siri ketiga dalam beberapa siri tulisan dalam rangka mengenali Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ditukil dari kitab "Hanya Islam Bukan Wahhabi" (judul asli: Islamiyyah La Wahhabiyyah) oleh Prof. Dr. Nashir bin Abdul Karim al-Aql, dari bab "Imam Pembaharu dan Dakwahnya"]


Sirah dan dakwah Imam Muhammad bin Abdul Wahhab memiliki banyak keistimewaan. Di antaranya:

Perilaku yang jernih
Sesungguhnya dari sirah Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, yaitu pribadi, ilmu, sikap agama,akhlak, pergaulannya terhadap orang-orang yang mendukung maupun menentangnya, dan hal ihwal beliau yang lainnya bisa dibaca dengan jelas keutamaan, sikap istiqamah, dan jiwa kepemimpinannya. Pada segi yang lain juga bisa dibaca dengan jelas hal-hal yang dapat membatalkan tuduhan para musuh yang selalu menyerang kepribadian, dakwah, dan manhaj beliau. Begitu pula dengan manhaj para pengikut beliau.

Tetapi, beliau sudah memberikan penjelasan konkret tentang dakwah dan manhajnya dalam risalah, kitab, serta perilaku-perilakunya. Demikian pula yang dilakukan oleh para pengikut beliau sehingga hal itu sudah cukup menjadi pedoman bagi yang menginginkan kebenaran dan adil tehadap perilaku.

Sumber yang Bersih
Sumber ilmu, adab, dan akhlak yang diterima oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab adalah sumber-sumber yang syar'i, fitrah, kuat, dan yang murni. Hal itu merupakan cerminan dari Al-Qur'an, sunnah Nabi, dan jejak peninggalan para Salafusshalih yang lepas dari falsafah dan tasawwuf; fitrah sehat yang tidak diselewengkan oleh manhaj bid'ah, kesenangan nafsu, dan kerancuan-kerancuan; dalam lingkungan keluarga yang muila yang memiliki kepahaman fikih, ilmu, kedudukan, dan nasab.

Manhaj yang sehat
Manhaj yang digunakan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab dalam berdakwah menghadapi para pengikutnya dan orang-orang yang menentangnya adalah manhaj syar'i yang salafi, murni, bersih dari kotoran-kotoran, asli, kokoh, terang, komprehensif, realistis, dan patut untuk mendirikan sebuah masyarakat islami yang penuh vitalitas dan progresif.

Dalam menjabarkan ketetapan agama kepada para pengikutnya sang Imam juga menggunakan manhaj syar'i yang salafi dan murni. Beliau selalu berpedoman pada Al-Qur'an, hadits, dan kalimat agama yang asli, tanpa dicampur aduk dengan bahasa-bahasa falsafah, istilah sufi, ucapan yang membingungkan, dan isyarat sastra.

Berorientasi kepada Manhaj Salafusshalih
Dakwah Imam Muhammad bin Abdul Wahhab dalam segala sesuatu menggunakan manhaj Salafusshalih. Itulah yang membuat manhaj beliau memiliki ciri khas tersendiri, yakni murni, komprehensif, realistis, mantap, dan meyakinkan.

Hasilnya, beliau sanggup menegakkan syi'ar dan dasar-dasar agama sangat sempurna yang meliputi masalah tauhid, shalat, jihad, amar ma'ruf nahi mungkar, penegakan hukum, keadilan, keamanan, tampilnya keutamaan-keutamaan dan tersembunyinya kerendahan-kerendahan. Agama dan ilmu menjadi sangat marak di setiap negara yang terjangkau oleh seruan dakwah beliau yang sudah mapan di Kerajaan Arab Saudi.

Asas yang dijadikan dasar seruan dakwah Imam Muhammad bin Abdul Wahhab ialah asas dan ketetapan Islam. Oleh karena itulah, dakwah beliau mendatangkan buah yang matang dan selalu berada pada jalan Allah yang lurus serta pada manhaj nubuwat.

Penuh Semangat dan Berwawasan Luas
Hal lain yang membuat manhaj Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menjadi istimewa ialah semangat dan keyakinan beliau yang sangat tinggi dalam menegakkan kalimat Allah, membela agama, menyebarluaskan sunnah Nabi, dan mengobati penyakit-penyakit yang diderita oleh umat berupa berbagai macam bid'ah, hal-hal baru yang diada-adakan, kemungkaran, kebodohan, perpecahan, kezhaliman, dan keterbelakangan.

Semangat tinggi dan wawasan luas dalamhal teori (ilmu) dan praktek (amal) yang dimiliki oleh beliau nampak jelas dari banyak hal. Antara lain:
  1. Fokus perhatian beliau terhadap masalah-masalah yang utama, seperti masalah tauhid dan kewajiban-kewajiban agama. Walaupun demikian, beliau tidak lantas mengabaikan masalah-masalah yang lainnya.
  2. Kesiapan beliau sejak dini untuk menghadapi berbagai rintangan yang akan menghambat dakwah beliau. Hal itu menunjukkan betapa beliau memiliki wawasan yang luas dan antisipasi yang peka untuk menghadapi segala sesuatu yang akan terjadi.
  3. Perhatian beliau sejak dini untuk mencari kekuasaan yang kuat dan layak buat memikul beban-beban dakwah serta memeliharanya adalah langkah yang sangat tepat ketika beliau memilih Amir Muhammad bin Sa'ud setelah ia diusir oleh Ibnu Mu'ammar.
Kemampuan dan Kesuksesan
Juga berkata jasa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Allah berkenan menolong agama dan memuliakan sunnah Nabi. Beliau baru meninggal dunia setelah sempat menyaksikan uah hasil dakwahnya yang dirintis dengan susah-payah, yakni dengan berkibarnya bendera sunnah dan berdirinya negeri tauhid pada zaman pemerintahan Imam Abdul Aziz bin Muhammad dan putranya, Sa'ud. Bendera tersebut terus berkibar melambangkan kejayaan, kemenangan, kewibawaan, kekuatan, dan kedamaian. Hal itu sebgai bukti atas dominasi agama dan tenggelamnya berbagai macam bid'ah. Akhirnya, secara berturut-turut berdirilah kekhalifahan di wilayah-wilayah Semenanjung Arabia lainnya. Ini jelas merupakan karunia Allah yang patut disyukuri.

Sesungguhnya beliau adalah seorang pembaharu. Pengaruh dakwahnya meluas sampai ke seluruh negara kaum muslimin, bahkan sampai ke segenap penjuru dunia. Alhamdulillah, dakwah beliau tersebut tetap hidup.

Dakwah beliau juga terus diserukan oleh para pengikutnya, orang-orang Ahli Sunnah wal Jama'ah di negeri mereka masing-masing.

Dasar-dasar Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

[Berikut siri kedua dalam beberapa siri tulisan dalam rangka mengenali Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ditukil dari kitab "Hanya Islam Bukan Wahhabi" (judul asli: Islamiyyah La Wahhabiyyah) oleh Prof. Dr. Nashir bin Abdul Karim al-Aql, dari bab "Imam Pembaharu dan Dakwahnya"]


Seruan dakwah Imam Muhammad bin Abdul Wahhab adalah berdasarkan pada manhaj islami yang benar dan kaidah-kaidah serta prinsip-prinsip agama. Yang paling menonjol ialah upaya untuk memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata dan kesetiaan untuk selalu menaati Allah serta menaati Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Beliau sangat antusias melakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. Menanamkan tauhid secara mendalam dan membasmi syirik serta berbagai macam bid'ah.
  2. Menegakkan kewajiban-kewajiban agama dan syi'ar-syi'arnya, seperti shalat, jihad, dan amar ma'ruf nahi mungkar.
  3. Mewujudkan keadilan di bidang hukum dan lainnya.
  4. Mendirikan masyarakat Islam yang berdasarkan tauhid, sunnah, persatuan, kemuliaan, perdamaian, dan keadilan.
Semuaitu berhasil terwujud di negara-negara yang terjangkau oleh seruan dakwah beliau, atau yang telah terpengaruh. Gambaran tersebut nampak jelas di wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan Arab Saudi sebagai pengibar bendera gerakan reformasi pada tiga periode. Setiap negara yang terjangkau oleh gerakan ini akan kental dengan warna tauhid, iman, sunnah Nabi, perdamaian, dan kesejahteraan. Hal itu demi mewujudkan apa yang telah dijanjikan oleh Allah dalam firman-Nya,

"Sesunggunya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf, dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allahlah kembali segala urusan." (Al-Hajj: 40-41)

"Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)." (Al-Qashash: 5)

Pertumbuhan Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Perilaku-perilakunya

[Berikut siri pertama dalam beberapa siri tulisan dalam rangka mengenali Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ditukil dari kitab "Hanya Islam Bukan Wahhabi" (judul asli: Islamiyyah La Wahhabiyyah) oleh Prof. Dr. Nashir bin Abdul Karim al-Aql, dari bab "Imam Pembaharu dan Dakwahnya"]


Imam Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah lahir pada tahun 1115 Hijriah dan wafat pada tahun 1206 Hijriah. Beliau mengumandangkan seruan dakwahnya di jantung Najd dengan misi untuk membasmi noda-noda bid'ah, khurafat, perpecahan, dan kebodohan. Beliau memliki semangat yang sangat kuat untuk mengadakan pembaharuan, seerti yang akan diterangkan nanti.

Beliau lahir dan tumbuh di sebuah lingkungan keluarga yang kental dengan warna ilmu, kebaikan, dan sikap istiqamah. Ayah, kakek, dan sebagian besar anggota keluarganya adalah para ulama dan tokoh terkemuka yang aktif di bidang dakwah, penegakan hukum, dan pendidikan. Itulah yang membantu beliau memiliki bakat luar biasa. Beliau selalu setia menempuh manhaj syar'i yang kuat dan kokoh dalam lingkup ilmu yang aman.

Barangkali ada baiknya kalau saya kemukakan di sini bakat-bakat kepemimpinan menonjol yang ada pada diri sang pembaharu besar ini.

Semenjak kecil ia sudah memperlihatkan tanda-tanda kejeniusan, kecerdasan, dan bakat-bakat kepandaian yang luar biasa. Ia memiliki daya hapal, kekuatan pemahaman, dan kedalaman berpikir yang sangat prima. Dalam usianya yang masih terlalu muda ia sudah sanggup menangkap dan mendalami ilmu dan fikih. Sangat tekun dalam beribadah, memiliki iman yang kuat, dan mempunyai sifat-sifat yang terpuji, seperti jujur, penyayang, dermawan, santun, sabar, berwawasan luas, berhasrat kuat, dan sifat-sifat kepemimpinan yang jarang dimiliki oleh kebanyakan orang.

Kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan isu atau fitnah yang sengaja disebarluaskan oleh musuh-musuhnya yag menuduh beliau sebagai orang yang bodoh, jahat, kasar, fasik, dan sifat-sifat tidak terpuji lainnya. Mereka mengajarkan hal itu kepada para pengikutnya yang bodoh dan tidak mau melihat kebenaran sehingga mau mempercayai begitu saja.

Apakah rasional orang yang bodoh sanggup melakukan pekerjaan-pekerjaan besar seperti itu? Apakah mungkin orang yang fasik sanggup melakukan gerakan reformasi demi kejayaan Islam yang gaungnya masih tetap terdengardi seantero dunia sampai sekarang? Allah akan menolong, menguatkan, dan meninggikan agama ini.

Friday, August 14, 2009

Missed entries on blogspot

For readers of my blogspot who'd miss the following posts (due to technical problems resulting in the following posts not cross-posted to my blogspot):

Aug 7: Americans flocking to Kingdom to learn Islam

Aug 7: Grand Mufti asks vice cops to be gentle

As-Salaah, As-Salaah

Dari 'Ali ra, ia berkata; "Ucapan terakhir Rasulullah (s.a.w) adalah: "As-Salaah, as-Salaah, Ittaqullaaha feemaa malakat aymaanukum" (Jagalah solat, jagalah solat, bertaqwalah kepada Allah dalam hal hamba sahaya yang kalian miliki.)" [HR Abu Dawud, Sahih Sunan Abu Dawud (4295), Ibnu Majah dan lainnya. Lihat kitab Irwaa' (2178)]


Ibn Shamsud-Deen:

Bagaimana pula dengan hadith "ummati, ummati"?

Ana difahamkan hadith itu sebenarnya dha'if.

Dengan demikian, seharusnya kita berpedomankan hadith di atas, melaksanakannya dan saling menasihati mengenainya.

Maklumlah, berapa ramai orang yang tidak solat? Berapa ramai yang masih tidak mengerti solat?

Berapa ramai yang hanya solat bila "masa lapang".. sedangkan "masa sibuk" dia tidak solat.. sedangkan setiap manusia memiliki 24 jam dalam sehari.. nikmat Allah yang "paling adil" bagi setiap manusia..

Renungkanlah..

Saturday, August 01, 2009

Senandung Ramadhan

Kurang sebulan sebelum Ramadhan
Sudahkan kita membuat persiapan
Bukan sekadar lapar dahaga
Tapi lebih mendekatkan diri
Kepada Yang Maha Esa

Ramadhan datang dan pergi
Apakah tiada pembaharuan ada diri
Apakah Ramadhan ini kan seperti dahulu
Atau lebih baik lagi?

~Ibn Shamsud-Deen~
020809

Wednesday, July 29, 2009

The Ummah is in a Coma!

Man Embraces Islam to Sleep!

Shariah Safeguards Stability: Al-Sheikh

re: http://www.saudigaz ette.com. sa/index. cfm?method= home.regcon&contentID=200907224 4364

TAIF – King Abdullah, Custodian of the Two Holy Mosques, on Tuesday graced the opening ceremony of the building of the General Presidency of Scholarly Research and Ifta.

The six-floor building covers an area of 10,000 sq. meters, containing 166 rooms and costs more than SR90 million.

The King was received at the venue by Prince Naif Bin Abdul Aziz, Second Deputy Prime Minister and Minister of Interior, Sheikh Abdul Aziz Bin Abdullah Aal Al-Sheikh, the Grand Mufti of the Kingdom, Chairman of the Senior Ulema Council and Religious Research Department and Ifta; and Fahd Bin Abdul Aziz Bin Muammar, the Governor of Taif.

In his speech, the Grand Mufti spoke of the founding of the state by Imam Muhammed Bin Saud and the accord with Sheikh Muhammed Bin Abdul Wahhab, who worked together to “establish the law of Allah and raise the banner of monotheism, to end polytheism and superstition, and to rule by Allah’s law until our country became secure and stable while others disputed wars of division and killing”.

The Mufti went on to recall the efforts of King Abdul Aziz in laying the foundations of “security and faith” and his sons after him who “rule by the Book of Allah and spread the religion of Allah.”

The Mufti described the connection between the scholars and the leadership as bringing about stability, and “marking the point of retreat for those who seek to corrupt and lie in wait to damage this Ummah.”

Aal Al-Sheikh said the post of Mufti was of great importance, as “the people are in great need of insight and responses and solutions to their doubts.”

“The Board of Senior Ulema,” he said, “stands with the leadership and makes the utmost effort in pronouncing clear statements against what goes against Shariah law, and against all terrorism threatening the Ummah.” – SPA

Tuesday, July 21, 2009

Antara MJ dan BJ...

Beberapa hari yang lalu, Berita Harian menyiarkan komentar wartawan mengenai MJ (yakni Michael Jackson). Kematian yang menggemparkan dunia persada seni serta para peminatnya. Penjualan album yang mencecah jutaan, kedua tertinggi di belakang Elvis Presley dan Beatles (maaf jika saya tersilap).

Wartawan tersebut membincangkan sesuatu isu berkaitan dengan MJ yang menjadi persoalan ramai Muslim: apakah benar MJ telah memeluk Islam? adakah beliau meninggal dunia sebagai seorang Muslim?

Bukan itu yang ingin saya bincangkan di sini. Hanya saja ingin menyentuh betapa wartawan tersebut menyebutkan bahawa MJ akan terus diminati dan disayangi ramai, termasuk di kalangan Muslim. (Begitu juga dengan komentar wartawan kedua yang hanya mula mintai MJ setelah kematiannya.)

Inilah yang menjadi persoalan: mengapa seorang penyanyi/penghibur menjadi kesayangan ramai, termasuk di kalangan Muslim? Sedangkan sebagaimana penyanyi/penghibur/selebriti lain, penglibatan MJ dalam persada seni mengandungi banyak unsur maksiat, paling tidak melalaikan jiwa dan mengkhayalkan kita dari mengingati Allah dan bacaan al-Qur'an.

[Renungkan: sekiranya diputarkan CD bacaan al-Qur'an dan pada masa yang sama juga, kedengaran muzik yang diminati ramai, MJ atau selainnya. Apakah yang akan dilakukan kebanyakan orang?

Apakah akan dikatakan, "Matikanlah putaran muzik itu. Lebih elok kita dengar bacaan al-Qur'an, mendekatkan diri kepada Allah." Atau,

"Matikanlah putaran al-Qur'an itu. Kan tak elok dilagakan antara bacaan al-Qur'an dan muzik.. Matikanlah dulu putaran al-Qur'an itu dulu.. lain kali boleh dengar.. sekarang kita dengar MJ lah.."

Rasanya jawapan cukup jelas...]

Lihatlah betapa muzik/nyanyian yang melalaikan, yang disifatkan Saiyidina Abu Bakr radhiyAllahu 'anhu sebagai seruling syaitan, begitu meresap dalam jiwa manusia, termasuk jiwa Muslim.

Benarlah kata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahawa muzik/nyanyian mempunyai pengaruh yang hebat atas jiwa manusia; ia boleh menggoncangkan jiwa manusia sehingga membuatnya rasa sedih mahupun gembira. [aw kamaa qaal]

Lalu bagaimana pula dengan BJ? Tidak, saya tidak maksudkan pelawak setempat BJ Kadir. Yang saya maksudkan ialah Syeikh Bin Jibreen ('Abdullah bin 'Abdurrahman bin Jibreen) rahimahullah yang wafat pada minggu lalu.

Syeikh Bin Jibreen merupakan antara ulama mapan di Arab Saudi, antara ulama senior yang menjadi rujukan umat. Beliau dikatakan murid kepada Syeikh Bin Baz (Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz, mantan Mufti Besar Arab Saudi) rahimahullah dan sering mendampingi Syeikh Bin Baz. Malah, adakalanya menggantikan tempat Syeikh Bin Baz untuk mengimami solat.

Keilmuan yang tinggi, namun jiwa yang cukup tawadhu' membuatnya tidak suka dilayani sebagai seorang Syeikh. Malah, enggan terlalu dihormati sebagai seorang Syeikh kerana menganggap dirinya sebagai Thalib al-'llm (penuntut ilmu).

Tontonlah video berikut, di mana Syeikh Haitham al-Haddad (seorang murid Syeikh Bin Baz) berbicara tentang pemergian Syeikh Bin Jibreen, keperibadiannya serta ciri-ciri dan nilai seorang 'alim di dalam masyarakat:

http://muslimmatters.org/2009/07/15/recounting-memories-of-ibn-jibreen-navaid-aziz/

Sekarang, tepuklah dada, tanya iman. Di manakah kesedihan kita di atas pemergian seorang alim berbanding kesedihan kita di atas pemergian seorang selebriti?

Apakah yang ditinggalkan seorang selebriti dapat memanfaatkan kita di akhirat kelak?

Dapatkah kita menilai khazanah ilmu yang ditinggalkan para ulama?

Pemergian Syeikh Bin Jibreen telah didahului oleh Syeikh Bin Baz, Syeikh Al-Albani dan Syeikh Uthaymeen rahimahumullah. Sehinggakan Syeikh Bin Jibreen disifatkan (oleh Syeikh Haitham) sebagai alim terakhir dari generasi yang lepas.

Di manakah penghargaan, penghormatan dan kasih kita terhadap para ulama?

Renungkanlah wahai para pembaca budiman..

Wednesday, July 15, 2009

Shaykh Abdullah Bin Jibreen Passes Away


By Abdul Mohsin Al-Harthi

RIYADH/JEDDAH/BISHA – Sheikh Dr. Abdullah Bin Jibreen, one of the Kingdom’s senior Ulema and a former member in the Ifta Permanent Committee, died Monday at King Faisal Specialist Hospital in Riyadh after prolonged illness.

Funeral prayers will be performed Tuesday noon at Imam Turki Bin Abdullah Mosque in Riyadh.

Sheikh Jibreen, 78, was initially treated in Germany upon directives from King Abdullah, Custodian of the Two Holy Mosques. He returned to complete the treatment in the Kingdom.

One of the sheikh’s companions at the hospital said his heart stopped on Sunday but revived after electric shocks. There was no response when the heart stopped again on Monday, he said, noting the sheikh experienced a relapse last week and his condition deteriorated after an artery surgery. He added that the deceased also suffered complications of lung inflammation.

Several Ulema and thinkers expressed sorrow on the death of Sheikh Al-Jibreen and prayed to Allah to bestow His mercy on him and grant patience to his family members, relatives, students and the Muslim Ummah.

Dr. Muhammad Bin Saad Al-Shuwai’er, Adviser to the Kingdom’s Grand Mufti, said the Muslim Ummah owes Sheikh Al-Jibreen a right – that is, to pray that Allah bestow His mercy on him.

Sheikh Ali Abbas Al-Hakami, member of the Board of Senior Ulema, said Sheikh Al-Jibreen contributed greatly in explaining the rules of the Shariah.

“His death is a great loss for Islam,” he said urging all Muslims to pray for his soul.

Dr. Saad Mattar Al-Otaibi, Professor of Shariah Policy at the Higher Institute for the Judiciary and one of the students of Sheikh Al-Jibreen, said the late scholar used to move from place to place to spread his knowledge to others. He added that once he tried to calculate the number of lessons the late sheikh used to give. They reached about 45 lessons in a month. He was known for being ascetic (observing Zuhd) and refraining from worldly appearances. He was one of the authorities of the Shariah sciences, and had vast knowledge.

Dr. Mahmood Zaini, member of the teaching staff of Umm Al-Qura University, said the death of Sheikh Al-Jibreen is a tragedy for the Muslim Ummah and religious scholars in the Shariah. He prayed to Allah to bestow His mercy on him and make paradise his abode.

Sheikh Abdullah Bin Jibreen was born in 1933 in one of the villages of Al-Quwai’iah. He grew up in Ar-Reen town and started his education in 1940. He started memorizing the Holy Qur’an with the help of his father and completed the memorization through Sheikh Abdul Aziz Al-Shithri. He also memorized several religious references. He used to attend lessons by senior Ulema on studying books on the Shariah, literature and history.

He got his secondary school certificate in 1958, a bachelors degree in Shariah in 1961, masters degree in 1970 from the Higher Institute for the Judiciary, and a doctorate with excellent grade and honors in 1987. Several judges, teachers and religious callers were taught by him.

He accompanied the late Sheikh Abdul Aziz Bin Baz in most of his lessons in the Grand Mosque and used to give sermons and lead prayers on his behalf at times. – Okaz/SG

– Na’eem Al-Hakeem, Abdullah Al-Dani and Muhammad Aal Mashout contributed to this report

http://www.saudigazette.com.sa/index.cfm?method=home.regcon&contentID=2009071443654

Monday, May 25, 2009

The forty-day anniversary is a Pharaonic custom

What is the origin of the forty-day anniversary? Is there any evidence that eulogizing is acceptable in Islam?

Praise be to Allaah.

Firstly: the origin of this is a Pharaonic custom which was practised by the Pharaohs before Islam, then it spread from them to other nations. It is a reprehensible innovation (bid’ah) which has no basis in Islam, and it is be rejected as the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said: “Whoever innovates anything in this matter of ours (Islam) which is not a part of it, will have it rejected.” (Saheeh – agreed upon).

Secondly: commemorating and eulogizing the dead in the manner that is done nowadays, when people gather for that purpose and exaggerate in praising the deceased is not permitted. It was narrated by Ahmad and Ibn Maajah, and classed as saheeh by al-Haakim, that ‘Abd-Allaah ibn Abi Awfaa said: “The Messenger of Allaah (peace and blessings of Allaah be upon him) forbade eulogizing.” (And it is not permitted) because mentioning the attributes of the deceased usually involves boasting and provokes sorrow and grief. But simply speaking well of him when he is mentioned or when his funeral passes by, or mentioning his good deeds and so on, in a manner similar to the way in which the Sahaabah eulogized those who were killed at Uhud and others, is permissible. It was narrated that Anas ibn Maalik (may Allaah be pleased with him) said: “A funeral passed by and they spoke well of the deceased. The Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said, ‘He deserved it.’ Then another funeral passed by and they spoke ill of the deceased. The Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said, ‘He deserved it.’ ‘Umar (may Allaah be pleased with him) said, ‘What did they deserve?’ He (peace and blessings of Allaah be upon him) said, ‘The first one you spoke well of, and he deserved Paradise, and the second one you spoke ill of, and he deserved Hell. You are the witnesses of Allaah on earth.” (Narrated by al-Bukhaari and Muslim).


Kitaab Majmoo’ Fataawa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah li Samaahat al-Shaykh ibn Baaz , vol. 13, p.398.

http://www.islam-qa.com/en/ref/12552


Ibn Shamsud-Deen:

Doesn't this sound familiar? So what our community here in Singapore and Malaysia have been practising, it is not just a "revival" of a Hindu custom but also Pharaonic custom, wa iyaadhu billaah.

Sunday, May 24, 2009

Conditions, essential parts and Sunnahs of Jumu’ah khutbahs

Can you explain to us the essential parts, obligations and Sunnahs of the Jumu’ah khutbah?.

Praise be to Allaah.

Firstly:

The fuqaha’ of the four madhhabs are agreed that the khutbah is a condition of the Friday prayer being valid, and it is part of the remembrance of Allaah that Allaah has enjoined in His words (interpretation of the meaning):

“O you who believe (Muslims)! When the call is proclaimed for the Salaah (prayer) on Friday (Jumu‘ah prayer), come to the remembrance of Allaah [Jumu‘ah religious talk (Khutbah) and Salaah (prayer)] and leave off business (and every other thing)”

[al-Jumu’ah 62:9].

The Prophet (blessings and peace of Allaah be upon him) persisted in doing this; in fact it is narrated from some of the Companions that the khutbah is a replacement for two rak’ahs of Zuhr prayer. All of that indicates that the khutbah is an essential condition for the Friday prayer being valid.

Ibn Qudaamah (may Allaah have mercy on him) said:

To sum up, the khutbah is a condition of Jumu’ah, and it is not valid without it, as was stated by ‘Ata’, al-Nakha’i, Qataadah, al-Thawri, al-Shaafa’i, Ishaaq, Abu Thawr and ashaab al-ra’i. And we do not know of anyone who disagreed with that except al-Hasan. End quote.

Al-Mughni (2/74)

Secondly:

Conditions of the Friday khutbah

The fuqaha’ are also agreed on two of the conditions of the Friday khutbah:

1. That it should be done after the beginning of the time for Friday prayer.

2. That it should be done before the prayer and not after. Al-Khateeb al-Sharbeeni said: according to consensus, except for those who held odd opinions. Mughni al-Muhtaaj, 1/549. There should not be a lengthy interval between the two, rather the prayer should come immediately after the khutbah. Ibn Qudaamah (may Allaah have mercy on him) said: It is essential that the prayer come immediately after the khutbah. End quote. Al-Mughni, 2/79.

The scholars differed concerning other conditions. We will mention briefly that which we believe is most likely to be conditions after having studied the evidence of all opinions:

3. The intention (niyyah). That is because the Prophet (blessings and peace of Allaah be upon him) said: “Actions are but by intentions.” Agreed upon. So it is stipulated that the khateeb should have the intention of presenting a khutbah that is acceptable and valid for Friday prayer. This is the view of the Hanbalis and some of the Shaafa’is.

4. It should be spoken out loud. It is not acceptable for the khateeb to give a khutbah silently, because the aims of the khutbah cannot be achieved unless it is given out loud. This is the view of the majority of scholars, apart from the Hanafis.

Some of the scholars have stipulated that a specific number of people must attend the Friday khutbah, and some of them stipulated that the khutbah should be in Arabic, but we have explained previously on our website that these two conditions are not valid. See the answer to question no. 7718 and 112041.

Thirdly:

Essential part of the Friday khutbah

The correct scholarly view is that the only essential part of the Friday khutbah is the minimum to which the word khutbah may be applied according to custom. This is the view of Ibn Hazm. Al-Muhalla, 5/97,

Shaykh al-Islam Ibn Taymiyah (may Allaah have mercy on him) said:

It is not sufficient in the khutbah to discourage people from being attached to worldly matters and to remind them of death, rather it is essential to give what may be called a khutbah according to custom, and that cannot be achieved by means of an abbreviated speech that fails to fulfil the purpose. End quote.

Al-Ikhtiyaaraat, p. 79

Shaykh ‘Abd al-Rahmaan al-Sa’di (may Allaah have mercy on him) said:

The fuqaha’s stipulation of the four essential parts in each of the two khutbahs is subject to further discussion. If the speaker does in each of the two khutbahs that which fulfils the purpose of the khutbah, which is exhortation that moves the heart, then he has done the khutbah. But undoubtedly praise of Allaah, blessings upon the Messenger of Allaah (blessings and peace of Allaah be upon him) and recitation of some Qur’aan are all things which complete and adorn the khutbah. End quote.

Al-Fataawa al-Sa’diyyah, p. 193

The khateeb should be pure and free of impurities both minor and major, and he should wear his best clothes, greet the people with salaam and deliver the khutbah from the minbar. He should turn to face the people and he should be sincere in exhorting and reminding the people in clear and eloquent words. He should keep the khutbah short and not make it lengthy, and he should make it into two khutbahs.

There are differences of opinion with regard to many of these minor issues, the details of which are discussed elsewhere. But here we have limited it to an overall discussion of that which all the Muslims need to know.

However we should point out here the importance of paying attention to the people's situation with regard to what the khutbah should contain. The khateeb should give them what they need and not talk to them about things that they cannot understand or that they do not need to know of religious issues.

Moreover he should not differ from what people are used to in their khutbahs of remembrance of Allaah, supplication or other things that are mustahabb in the khutbah, and for which there is no evidence that they are essential in the khutbah. It is sufficient for there to be evidence that they are mustahabb or even allowed for him to do them. And he should pay attention to the people's situation and needs.

Shaykh Ibn ‘Uthaymeen (may Allaah have mercy on him) said, after discussing what the Hanbali fuqaha’ regard as essential in the Friday khutbah:

Some of the scholars said that the basic condition of the khutbah is that it should contain exhortation that softens the hearts and is beneficial to the people present, and that praising Allaah, sending blessings upon the Prophet (blessings and peace of Allaah be upon him) and reciting a verse are all part of perfecting the khutbah.

But this opinion, although it carries some weight, need not be followed if the people of this city follow the first view which the author mentioned above, because if he omits these conditions which the author has mentioned, the people will become confused and everyone will leave Jumu’ah feeling that he has not prayed Jumu’ah, but if you fulfil these conditions you will not be doing anything haraam.

Paying attention to the people with regard to any matter that is not haraam is the way of sharee’ah. The Prophet (blessings and peace of Allaah be upon him) paid attention to his Companions with regard to fasting and not fasting in Ramadan when travelling, and he paid attention to them with regard to the rebuilding of the Ka’bah, when he said to ‘Aa’ishah: “Were it not that your people are still new in Islam, I would have demolished the Ka’bah and rebuilt it on the foundations of Ibraaheem.” [Agreed upon] This principle is well known in sharee’ah.

But if you go along with them with regard to something that is haraam, this is called compromise and it is not permissible. Allaah says (interpretation of the meaning): “They wish that you should compromise (in religion out of courtesy) with them, so they (too) would compromise with you” [al-Qalam 68:9].

End quote from al-Sharh al-Mumti’, 5/56

And Allaah knows best.


Islam Q&A

http://www.islam-qa.com/en/ref/115854

Saturday, May 16, 2009

Jarum-jarum Syi'ah di Singapura

Image Hosted by ImageShack.us

Pandangan Ulama' Ahlussunnah Wal Jamaah Terhadap Yazid Bin Muawiyah:

"Yang benar adalah apa yang diperkatakan oleh para imam bahawa mereka tidak mengkhususkan kecintaan kepada Yazid mahupun melaknatnya. Sekalipun beliau seorang yang fasiq atau zalim, maka Allah akan mengampuni seorang yang fasiq dan zalim jika orang itu memiliki beberapa kebaikan yang besar. Sesungguhnya al-Bukhari di dalam Shahihnya telah meriwayatkan daripada Ibn Umar radhiallahu 'anhuma bahawa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Pasukan tentera yang pertama menyerang Konstantinopel, maka Allah mengampunkan mereka”. Pasukan pertama yang menyerang Konstantinopel adalah dibawah pimpinan Yazid bin Muawiyah.” [Majmu al-Fatawa, Ibn Taimiyyah (Jilid 3, m/s. 409-413)]


Pandangan Ulama' Ahlussunnah Wal Jamaah Terhadap Para Sahabat Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam:

"Jika engkau melihat ada orang yang mencela salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam maka ketahuilah bahwa dia adalah zindiq!!!” [Al-Kifayah, al-Imam al-Khathib al-Baghdadi (hal. 97)]

“Sahabat adalah setiap muslim yang melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam walaupun hanya sekilas." [Syarhul Muslim, Imam an-Nawawi (Jilid 1, m/s 35)]
*Dan begitulah pendapat para imam-imam besar Ahlussunnah Wal Jamaah termasuk al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani, Imam Ibn Kathir, Imam Ahmad Bin Hanbal dan sebagainya.


Kesaksian Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam terhadap Muawiyah Bin Abu Sufyan:

“Ya Allah, anugerahkanlah kepada Mu’awiyah ilmu al-Kitab (al-Qur`an) dan al-Hisab (ilmu hitung) serta jauhkanlah beliau dari azab.” [Hadith riwayat Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Sheikh al-Albani]

“Ya Allah, jadikanlah Mu’awiyah sebagai pembawa petunjuk yang memberikan petunjuk. Berikanlah petunjuk padanya dan petunjuk (bagi umat) dengan keberadaannya.” [Hadith riwayat Imam Ahmad dan Tirmidzi. Dishahihkan oleh Sheikh al-Albani]


Muawiyah Bin Abu Sufyan Dijanjikan Syurga:

Dari Umu Haram radhiallahuanha beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Pasukan pertama dari ummatku yang perang di lautan maka wajib baginya (syurga).” [Hadith riwayat Imam Bukhari]

"Al-Muhallab berkata: Hadith ini menjelaskan keutamaan Mu’awiyah karena beliaulah orang pertama yang berperang di lautan.” [Fathul Bari, Ibn Hajar al-Asqalani (Jilid 6, m/s 120)]


Ketahuilah, hanyalah golongan firqah-firqah yang sesat yang mencela para sahabat seperti golongan Syi'ah, Khawarij dan Mu’tazilah. Dan tiada di antara golongan yang mengaku sebagai Ahlussunnah Wal Jamaah yang akan mencela sahabat kecuali diakibatkan kejahilan mereka terhadap agama ataupun kecenderungan mereka terhadap pemikiran firqah-firqah yang sesat.

Dan ketahuilah, pemikiran golongan Sufi sangat mirip dengan pemikiran Syi'ah.

Dan kepada Allah kembali segala urusan.

wallahu a'lam

Rujukan:
1) Pendirian Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah Terhadap Yazid bin Muawiyah Oleh Hafiz Firdaus Abdullah
2) Muawiyah Abi Sufyan, Sahabat Yang Terzhalimi oleh Abu Salma al-Atsari

[Ditukil dari: ISLAM IN SG: JARUM-JARUM SYI'AH DI SINGAPURA]

Updates that you might have missed

This is especially for readers of my blogspot, who might have missed some updates from me since 2nd April.. i don't know why it didn't get cross-posted to my blogspot..

April 19: Promote Optimism, Aal al-Sheikh tells preachers

April 19: "Is Prayer a Priority?"

April 23: Shaykh Abdul Azeez bin Rayyis ar-Rayyis on Shaykh Ali Hasan al-Halabee

April 24: The Praise of Shaykh al-Albaanee of Shaykh Ali Hasan al-Halabee

May 01: Bagaimana Aku Mencapai Jalan Tauhid

May 02: Adat Budaya VS Agama

May 02: The Truth About Habib Umar

May 03: Remembering Allaah in the Washroom

May 03: The Four You Musn't Take Knowledge From

Thursday, April 02, 2009

Bila aku sudah tidak larat lagi

Bila aku sudah tidak larat lagi
Mengharungi dugaan ini
Serangan demi serangan
Melemahkan iman dan semangat
Hati dan jasad
Kelesuan
Lemahnya tubuh tiada kekuatan
Menahan kesakitan tiada terkesan
Sempitnya dada
Termengah-mengah bernafas
Kepanasan
Walau angin bertiupan dikipas

Menangis daku
Bila ibadahku terganggu
Terasa berat
Bagai himpunan batu
Di atas bahu
Namun ku kuatkan semangat
Berdiri dan ruku'
Sujud dan duduk
Walau termengah-mengah
Melafazkan kalimah
Ayat-ayat nan suci
Dzikir-dzikir memuji
Menyanjung kebesaran Ilahi
Istighfar menyesali
Kesalahan kekurangan diri
Kepanasan yang ku rasakan
Walau angin bertiupan
Ku cuba syukuri
Kaffarah membersih diri
Dari dosa-dosa menggunung tinggi

Bila aku sudah tidak larat lagi
Tariklah kekuatan dariku
Lumpuhkanlah jasadku
Bila itu yang Engkau kehendaki
Dalam menguji
Namun ku pohon kepadaMu
Wahai Rabbku
Kurniakanlah daku kekuatan iman
Keteguhan kesabaran
Yang dipaparkan hambaMu Ayub
Jangan Kau nafikan
Tingginya harapanku
Dilimpahi rahmat dan keredhaanMu

Monday, March 30, 2009

Does repentance bring back the reward for what was lost because of showing off?

If someone does do a good deed with an intention other than to please Allah, then he or she repents, will he get the rewards after the repentance?.

Praise be to Allaah.

There is evidence in the Sunnah to indicate that if a person did a righteous deed whilst he was a kaafir, then he repented and became Muslim, there will be recorded for him after his repentance the reward of the righteous deeds that he did before, as if he did them in Islam. This is the great generosity of Allaah and His immense bounty and kindness. Although some scholars disagreed with that, this is the correct view and it is the apparent meaning of the saheeh Sunnah.

It was narrated from Hakeem ibn Hizaam (may Allaah be pleased with him) that he said: I said: O Messenger of Allaah, what do you think of things that I did as acts of worship during the Jaahiliyyah such as giving charity, freeing slaves and upholding the ties of kinship – is there any reward for them? The Messenger of Allaah (blessings and peace of Allaah be upon him) said: “You have become Muslim with all your previous virtues.”

Narrated by al-Bukhaari (1436) and Muslim (123).

Al-Haafiz ibn Rajab al-Hanbali (may Allaah have mercy on him) said, commenting on this hadeeth:

If a person did a righteous deed, then he did a bad deed which cancelled it out, then he repented, then the reward that was lost because of his bad deed will be restored to him. End quote.

Fath al-Baari by Ibn Rajab (1/146)

Shaykh al-Islam Ibn Taymiyah (may Allaah be pleased with him) said:

If the hypocrite or show-off repents, does he have to repeat (prayers etc), or will his repentance have the effect of reversal on the deeds he did before that, so that he will be rewarded for them, or is it that he does not have to repeat anything and will not be rewarded?

As for repeating, the hypocrite does not have to do it at all, because a group of hypocrites repented from hypocrisy at the time of the Messenger of Allaah and he did not order any of them to repeat. And Allaah says (interpretation of the meaning):

“and they could not find any cause to do so except that Allaah and His Messenger had enriched them of His Bounty. If then they repent, it will be better for them, but if they turn away; Allaah will punish them with a painful torment in this worldly life and in the Hereafter”

[al-Tawbah 9:74]

Moreover, the hypocrite is inwardly a kaafir, so when he believes he is forgiven what he did before, so he does not have to make anything up, just as that is not required of the one who was outwardly a kaafir when he becomes Muslim.

With regard to his reward for what he did before, when he repents he is like the kaafir if he did righteous deeds when he was a kaafir then became Muslim -- will he be rewarded for it? In al-Saheehayn it is narrated that the Prophet (blessings and peace of Allaah be upon him) said to Hakeem ibn Hizaam: “You have become Muslim with all your previous virtues.”

With regard to the show-off, if he repents from showing off, even though he believed it was obligatory, then it is similar to the issue of what we are speaking of here, which is the issue of one who did not carry out an obligatory duty, even if he was not inwardly a kaafir; obliging him to make ups or repeat things is a major deterrent to repentance. End quote.

Majmoo’ al-Fataawa (22/20-21)

He also said (may Allaah have mercy on him):

The one who repents from sin is like the one who did not sin, and if the sin is erased then the punishment and consequences are also erased. Negation of good deeds is one of the consequences of sin. End quote.

Sharh al-‘Umdah (1/39).

Ibn Qayyim al-Jawziyyah (may Allaah have mercy on him) said:

Chapter: if his recent bad deeds supersede his past good deeds and cancel them out, then he repents sincerely from them, his good deeds are restored to him and he does not come under the same ruling as one who starts all over again, rather it is said to him: You have repented on the basis that what you did previously of good deeds (will be kept for you). The good deeds that he did in Islam are greater than the good deeds that the kaafir did when he was a kaafir, such as freeing slaves, giving charity and upholding the ties of kinship. Hakeem ibn Hizaam said: O Messenger of Allaah, what do you think of things that I did as acts of worship during the Jaahiliyyah such as giving charity, freeing slaves and upholding the ties of kinship – is there any reward for them? The Messenger of Allaah (blessings and peace of Allaah be upon him) said: “You have become Muslim with all your previous virtues.”

That is because sins that come between two acts of obedience are erased by means of repentance, so it becomes as if they never happened, and the two acts of obedience come together and will be counted together. And Allaah knows best. End quote.

Madaarij al-Saalikeen (1/282)

And Allaah knows best.


Friday, March 27, 2009

Saudi Grand Mufti says cinema is a tool to distract people from work

By Abdul Rahman Shaheen, Correspondent
Published: March 25, 2009, 16:02

Riyadh: Saudi Arabia’s Grand Mufti Shaikh Abdul Aziz Alu Al Sheikh said cinema and theatre are against Shariah (Islamic law) as they are tools that distract people from work and efforts to achieve progress.

He was replying to questions about theatrical performance and watching comedies during an interaction with students at King Saud University on Tuesday.

"Theatrical performance, whether it is a cinema or a song, would generally make an impression that is against Shariah. People need only those (art forms) that are useful to them to change their way of life (in an Islamic manner),” he ruled.

It is noteworthy that last year the Grand Mufti had issued an edict against watching Turkish melodramas of "Nour" and "The Last Years", the hottest shows on Arab TV, aired by MBC.

He slammed them as evil and ordered audiences to stop watching them. "They contain so much evil; they destroy people's ethics and are against our values. Any TV station that airs them is against God and His messenger. These are serials of immorality," he noted.

The Grand Mufti replied to questions raised by the university students on a wide variety of contemporary topics and matters. Urging students to refrain from smoking, Shaikh Alu Al Shaikh accused the tobacco companies of giving bribes to doctors to play down the harmful effects of smoking.

"Smoking is really an ordeal, whether it is cigarettes or smoking of Shisha or Ma'asal," he said while drawing attention to the fact that some European countries banned selling them on public streets.

The Grand Mufti advised students to avoid reckless driving especially during early hours. He also warned against playing chess as "it causes a man to lose his wealth and waste his time." Referring to photography he said: "Photography is one of the necessities of life."

"It will be helpful while delivering lectures, carrying out religious activities and even while maintaining public security. Only the photography of sculptures and models is prohibited."

Replying to another question about donating organs of a dead body, Shaikh Alu Al Shaikh said that several scholars have permitted it as it is useful for living beings. However, it is not permissible to take organs before the death of the concerned person.

On the question of accepting remuneration by poets for attending festivals and cultural events, he said that it is permissible if their words are good and faultless. "If there are abusive words or references, then they are not permissible," he said.

Faidah Ilmiah dari Basmalah

Sebagai faidah ilmiah, berikut saya tukil dari kitab Fathul Majid Syarh Kitabut-Tauhid (Judul Indonesia: Fathul Majid Syarah Kitab Tauhid) yang ditulis oleh Syaikh Abdur-Rahman Hasan Alu-Syaikh yang mensyarahkan "Kitabut-Tauhid" tulisan datuknya, Syaikh Muhammad bin 'Abdul-Wahhab at-Tamimi. Tukilan berikut adalah penjelasan Syaikh Abdur-Rahman terhadap matan (teks) asal Kitabut-Tauhid. (Kalimah dalam tulisan Arab tidak disertakan.)


Penulis rahimahullah berkata: "Bismillahir-Rahmanir-Rahim"

Beliau (penulis) memulai kitabnya dengan basmalah sesuai dengan perintah Al Qur'an dan dalam rangka mengamalkan hadits yang berbunyi,

"Setiap urusan yang tidak dimulai dengan Bismillahir-Rahmanir-Rahim, maka ia terputus." (Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban melalui dua jalur sanad.)

Ibnu Shalah berkata, "Hadits tersebut hasan." Dalam riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah dikatakan,

"Setiap urusan yang tidak dimulai dengan nama Allah, maka ia terputus."

Dalam riwayat Ahmad berbunyi,

"Setiap urusan yang penting dan tidak dibuka dengan menyebut nama Allah (dzikrullah), maka ia akan terputus."

Sedangkan dalam riwayat Ad-Daruquthni dari Abu Hurairah secara marfu' berbunyi,

"Setiap urusan yang penting dan tidak dimulai dengan dzikrullah, maka ia terputus."

[Disebabkan penjelasan Syaikh agak panjang dan mendalam, saya hanya menukil bahagian-bahagian tertentu daripada penjelasan beliau agar tidak mengelirukan, kerana Syaikh juga menjelaskan dari sudut teknikal bahasa.]

[Pada bahagian lain, dijelaskan:]

"Huruf ba dalam bismillah mengandung makna penyertaan (al-Mushaahabah). Ada yang mengatakan maknanya adalah Al-Isti'aanah (meminta pertolongan). Dengan demikian, fi'il yang dibuang tersebut (at-Taqdir) adalah (kalimah Arab yang bermaksud:) "Dengan Nama Allah aku mengarang kitab ini dalam kondisi saya sebagai orang yang meminta pertolongan dengan menyebut-Nya dan memohon keberkahan-Nya.".

[Pada bahagian lain dijelaskan:]

"Bismillahir-Rahmanir-Rahim". Ibnu Jarir berkata, As-Sariy bin Yahya menceritakan kepadaku, Utsman bin Zufar menceritakan kepada kami, Aku mendengar Al-Azrami berkata, Ar-Rahman (Maha Pengasih) untuk semua makhluk dan Ar-Rahim (Maha Penyayang) terhadap kaum mukminin." Dia kemudian menyebutkan sanadnya dari Abu Sa'id al-Khudri. Dia berkata, Rasulullah SAW bersabda,

"Sesungguhnya Isa bin Maryam berkata, "Ar-Rahman; Rahman (Maha Pengasih) di akhirat dan di dunia, dan Ar-Rahiim; Rahiim (Maha Penyayang) di akhirat."

Ibnu Al Qayyim rahimahullah berkata [dalam kitab Madarijus-Salikin],
"Jadi, penamaan Allah menunjukkan bahawa Dia adalah sebagai Yang dituhankan dan disembah, dituhankan oleh semua makhluk dengan penuh kecintaan, pengagungan, tunduk dan berlindung kepada-Nya dalam semua kebutuhan dan musibah yang menimpa.

Hal yang demikian itu menunjukkan dengan pasti kesempurnaan rububiyyah dan rahmat-Nya yang keduanya mengandung kesempurnaan kekuasaan-Nya dan kemahaterpujian-Nya. Kemudian ilahiyyah-Nya, rububiyyah-Nya, rahmaniyyah-Nya (ke-Maha Pengasihan-Nya) dan kekuasaan-Nya menunjukkan dengan pasti sifat-sifat kesempurnaan-Nya.

Sebab mustahil adanya sifat-sifat itu semua terhaap dzat yang tidak hidup, tidak mendengar, tidak melihat, tidak berkuasa, tidak berbicara, tidak melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang Dia kehendaki dan tidak bijak dalam perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan-Nya.

Sifat-sifat keagungan dan keindahan lebih khusus terhadap nama Allah, sedangkan sifat-sifat perbuatan, qudrat, otoritas dalam memberikan mudharat, manfaat, rezeki, melarang, berkuasa, menentukan, memiliki kekuatan yang maha sempurna dan pengawasan terhadap urusan makhluk, semua itu lebih khusus buat nama Ar-Rabb.

Sifat-sifat berbuat baik, kedermawanan, kebajikan, belas kasih, menganugerahi, kasih sayang, lemah-lembut, itu semua lebih khusus buat nama Ar-Rahman.

Beliau (Ibnu Al Qayyim) berkata lagi, "Kata Ar-Rahman menunjukkan sifat yang ada pada-Nya, Maha Suci Allah, dan kata Ar-Rahiim menunjukkan keterkaitannya dengan makhluk yang diberi rahmat. Jika kamu ingin memahami hal ini, maka renungkanlah firman-Nya, "Dan Dia amat Rahiim terhadap kaum Mukminin." (QS. Al Ahzaab (33): 43) Juga firman-Nya, "Sesungguhnya Dia amat Ra'uuf dan Rahiim terhadap mereka."

Dalam bagian yang lain, beliau berkata lagi, "Sesungguhnya nama-nama Rabb Ta'ala aadalah merupakan nama-nama (asmaa') dan sifat-sifat (nu'uut) yang menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dalam hal ini, tidak ada pertentangan antara sifat-sifat 'alamiyyah (sebagai nama) dan sifat-sifat washfiyyah (sebagai sifat); Ar-Rahman adalah nama-Nya Ta'ala dan juga sifat-Nya. Bila ia ditinjau sebagai sifat, maka Ar-Rahman adalah sub ordinasi (taabi') dari nama "Allah". Sedangkan bila ditinjau dari sisi ia sebagai nama, maka keberadaan nama Ar-Rahman di beberapa ayat dalam Al Qur'an bukanlah sebgai sub ordinasi akan tetapi hadir sebagai nama dari Dzat Yang Maha Pengasih. Seperti firman-Nya Ta'ala, "Ar-Rahman bersemayam di atas 'Arasy." (QS. Thaha (20): 5)" Demikian perkataan Ibnu Al Qayyim yang kami ringkas.

Demikian penjelasan Syaikh Abdur-Rahman Hasan Alu-Syaikh terhadap kalimah Bismillahir-Rahmanir-Rahim yang hanya ditukil sebahagiannya (penjelasan yg sepenuhnya merangkumi 7 muka surat). Terasa sungguh kebesaran Allah subhanahu wa ta'ala dan betapa kerdilnya diri kita sebagai hamba, hanya dari kalimah basmalah, belum lagi ayat-ayat al-Qur'an yang lainnya.

Adapun Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (wafat pada tahun 2001) yang berupa alim masyhur dari Arab Saudi, juga imam di Masjidil Haram, beliau menjelaskan perbezaan ar-Rahman dan ar-Rahiim sebagai berikut [dalam bahasa Inggeris]:


Praise be to Allaah.

Al-Rahmaan and al-Raheem are two of the names of Allaah which refer to Allaah’s attribute of Mercy.

Al-Rahmaan refers to the vastness of Allaah’s mercy, and al-Raheem refers to its effect on His creation. So al-Rahmaan is the Owner of vast Mercy, and al-Raheem is the Owner of Mercy that encompasses His creation.

Shaykh Ibn ‘Uthaymeen (may Allaah have mercy on him) said: “Al-Rahmaan is the Owner of vast mercy, because the fa’laan form in Arabic indicates vastness and abundance, as it is said rajal ghadbaan (a very angry man) when he is filled with anger.

Al-Raheem is a name which refers to the action, as the fa’eel form refers to the doer of an action. So the phrase al-Rahmaan al-Raheem indicates that the mercy of Allaah is vast, as is understood from the name al-Rahmaan, and that it encompasses His creation, as is understood from the name al-Raheem. This is what some of them meant when they said that al-Rahmaan refers to mercy in a general sense and al-Raheem refers to mercy that is specifically for the believers. But what we have mentioned is more accurate.”

From Sharh al-‘Aqeedah al-Waasitiyyah, 1/22

And Allaah knows best.

[Ditukil daripada: http://www.islam-qa.com/en/ref/22200]

Wallahu a'lam.

Saturday, March 07, 2009

Ada Apa Dengan Syaikh Muhammad Hassan?

Artikel dari seorang teman Multiply, bagi menjawab mereka yang mempertikaikan Syaikh Muhammad Hassan dari Mesir:

KENAPA HARUS MEMUSUHI SYAIKH MUHAMMAD HASSÂN??

Transkrip Ceramah

Fadhîlatu asy-Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabî


Pertama : Kami telah mengenal Syaikh Muhammad Hassân semenjak 10 tahun yang lalu –ini bukan waktu yang singkat-. Kami telah menasehati beliau sebelum orang lain menasehatinya. Saya telah menasehati Muhammad Hassân pada tahun 2000 sampai-sampai ia menjadi murka kepadaku. Kami ketika itu sedang sarapan dan ia keluar meninggalkan sarapannya dalam keadaan marah. Akan tetapi hal ini tidak menghalangi kami untuk tetap terus menjalin persaudaraan (ukhuwwah) dan memberikan nasehat, dan tetap saling menasehati dan memberikan wasiat di dalam kebenaran dan kesabaran.

Muhammad Hassân 10 tahun yang lalu –baik kita kehendaki maupun tidak- bukanlah Muhammad Hassân yang sekarang ini. Program-program (dakwah) di televisi telah bermunculan dan beliau memiliki andil di dalam menyebarkan aqidah dan dakwah (salafiyah). Beliau memiliki pengaruh yang nyata pada seluruh negeri Islam, setidak-tidaknya di dalam memberikan hidayah (bayân wa irsyâd, bukan hidayah taufik, pen) terhadap manusia secara umum.

Sebagaimana telah kami utarakan, bahwa dakwah salafiyah itu bukanlah dakwah yang hanya memperingatkan dari Sayyid Quthb walaupun kami memperingatkan darinya. Dakwah salafiyah juga bukanlah dakwah yang hanya memperingatkan dari Ibnu Lâdin walaupun kami juga memperingatkan darinya. Bukan pula yang hanya memperingatkan dari aktivitas takfîr (pengkafiran) walaupun kami turut memperingatkan darinya. Namun, dakwah salafiyah itu adalah dakwah yang mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju kepada cahaya. Dan yang terpenting adalah aqidah, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :

« كثرة الذنوب مع صحة التوحيد خير من فساد التوحيد مع قلة الذنوب »

Banyaknya dosa namun tauhidnya lurus lebih baik daripada tauhidnya rusak dengan dosa yang sedikit.”

Apa artinya? Artinya adalah bahwa dakwah kita ini adalah dakwah aqidah. Apabila beliau memiliki aqidah yang lurus maka inilah yang pokok…

Muhammad Hassân saat ini, beliau banyak mengisi di program-program (dakwah) di televisi dan Alloh pun menganugerahkan kepadanya semangat. Kami melihat… bahwa dakwah beliau adalah dakwah aqidah dan mengikat manusia dengan al-Qur`an dan as-Sunnah, mengutip ucapan para ulama seperti Ibnu Baz, Ibnu ‘Utsaimîn dan al-Albânî dan memuliakan mereka. Manakah yang lebih utama (harus kita lakukan) di dalam dakwah kita, membantu, menasehati dan mendekatinya ataukah kita rusak, hancurkan (kehormatannya), dan menvonisnya bid’ah dan sesat?!

Yang manakala dia bertaubat (dari kesalahannya) kita malah berkata kepadanya “taubatmu tertolak”!

Manakala dia menghadap, kita malah berkata padanya dengan membelakanginya!

Apakah ini ada maslahat syar’i-nya walaupun hanya sedikit saja?!

Muhammad Hassan ketika datang untuk kesekian kalinya, kami duduk bersama beliau, dan ketika itu hadir bersama kami saudara DR. Muhammad Mûsâ Nashr dan saudara DR. Bâsim al-Jawâbirah. Kami pun memberikan beberapa nasehat kepada beliau (Syaikh Muhammad Hassan). Terutama tentang sikap beliau terhadap Sayyid Quthb. Lantas beliau berkata kepadaku secara tegas : “Ketika saya membaca buku Anda, Haqqu Kalimah al-Imâm al-Albânî fî Sayyid Quthb, saya katakan, bahwa seakan-akan Anda menulisnya dengan lisanku. Semenjak saat itu-lah saya meniadakan semua penukilanku dari Sayyid Quthb di dalam semua buku-bukuku.”

Siapa yang berkata seperti ini?! Lantas apakah layak kita mengatakan kepadanya, “Anda pendusta!! Anda hanya mengada-ada dan mengatakan hal ini karena pura-pura (taqiyah) dan main-main saja. Kami tidak mau menerima taubat Anda, kembalilah Anda kepada kesesatan Anda yang sebelumnya!” Ataukah selayaknya kita mengatakan kepadanya, “Semoga Alloh membalas Anda dengan kebaikan”, lalu kita memegang tangannya dan mendekatinya, dan moga-moga hal ini dapat menjadi pembuka (kebaikan), tidakkah ini adalah lebih utama.

Kemudian, selepas kepergianku, datang sebagian rekan (menginformasikan) bahwa ada sejumlah orang rendahan yang mengobarkan kekacauan dan melakukan perbincangan yang panjang mengenai kunjunganku ini, mereka membangun beberapa hal di atasnya (untuk menvonis) tanpa adanya nasehat dan tanpa melakukan pembicaraan –terhadap salah satu fihak dan tentang vonisnya-. Tatkala datang sebagian rekan dari golongan orang yang mengobarkan (fitnah) dunia tanpa bukti, tanpa ilmu, tanpa argumentasi yang nyata, tanpa nasehat dan tanpa ada sedikitpun cara kritik (yang ilmiah), maka kami pun menghubungi Muhammad Hassân pada pagi hari, namun tidak diangkat. Ketika sore hari kami dapat menghubunginya, kami bertanya kepada beliau yang singkatnya seperti ini : “Dinukil dari Anda ucapan-ucapan tertentu yang sebagian manusia menjadikannya sebagai bukti untuk menvonis Anda bid’ah, kami bermaksud mendengar jawaban Anda tentang hal ini. Apa sikap Anda terhadap Sayyid Quthb?” Syaikh Masyhur lah yang menanyakan ini seakan-akan beliau sedang menginvestigasi.

“Apa sikap Anda tentang pengkafiran terhadap penguasa?”

Dia (Syaikh Muhammad Hassan) menjawab : “Pengkafiran terhadap penguasa termasuk perbuatan khowârij, hal ini tidak boleh (hukumnya). Kami menganggap penguasa sebagai ulil amri dan kami menasehati mereka (dengan cara baik). Kami memohon kepada Alloh untuk memberikan hidayah-Nya kepada kami, Anda dan mereka (para penguasa), dan mendoakan mereka (dengan kebaikan).”

“Apa sikap Anda terhadap Sayyid Quthb?”

(Syaikh Muhammad Hassan) : “Sayyid Quthb bukanlah termasuk ulama. Beliau memiliki aqidah yang menyimpang, dan tidak boleh bagi penuntut ilmu menekuni buku-buku beliau.”

Apakah kita menginginkan lebih dari ini?

Beliau (Syaikh Muhammad Hassan) memiliki ucapan (yang memuji) Usâmah bin Lâdin pada 10 tahun yang lalu. Mereka (para penfitnah) itu senantiasa mengambil ucapannya ini sampai sekarang (untuk mendiskreditkan Syaikh Syaikh Muhammad Hassan). Sepuluh atau delapan tahun yang lalu (memang dia memuji Syaikh Muhammad Hassan). (Namun sekarang) dia berkata :

“Saya tidak mendukung pemikiran Usâmah bin Lâdin maupun al-Qaeda. Cukuplah apa yang mereka lakukan itu. Aktivitas mereka ini tidak memiliki dalil atau sunnah!”

“Apa pendapat Anda tentang aktivitas bom bunuh diri?”

(Syaikh Muhammad Hassan) : “Aktivitas bom bunuh diri yang berlangsung di negeri kaum muslimin termasuk kerusakan. Tidak boleh dan tidak sepatutnya (hal ini dilakukan), sebab hal ini termasuk membunuh diri sendiri.”

Apakah Anda menginginkan lebih dari ini?!!

Mereka (anehnya) mengatakan bahwa taubatnya ini tidak benar dan hanya main-main saja.

Wahai saudaraku, tidaklah (dikatakan) beriman salah seorang diantara kalian sampai ia mencintai apa yang ada pada saudaranya sebagaimana ia mencintai apa yang ada pada dirinya sendiri.

Apabila Anda berada di posisinya, apakah Anda akan mengatakan lebih banyak dari hal ini?

Wahai saudara-saudaraku, seorang pria yang berada di tempatnya, yang ditunggu-tunggu oleh orang yang mencintai dan membencinya, dari kalangan khusus dan masyarakat umum.

Kita saat ini berada di majelis hanya berlima. Kita terkadang berbicara dengan bahasa yang simple (sederhana), tentu saja ucapan kita ini lebih banyak dijaga dan lebih berhati-hati apabila kita di majelis dengan lima puluh orang.

Apabila (kita) sedang direkam, atau berada di Masjid, maka ucapan perlu lebih dijaga lagi. Apalagi jika di program televisi yang disaksikan oleh jutaan orang, baik orang yang mencintai maupun yang membenci, yang memusuhi maupun yang menyokong, orang yang menunggu-nunggu dan mencatat. Tidakkah jika pada saat itu saya tidak berbicara dengan teratur dan sistematis, bisa jadi ucapanku difahami (secara salah), diriku ditentang dan saya dilarang dari kebaikan ini.

Jadi, (setiap sesuatu) ada fasenya. Saya pernah mengetahui ucapan Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn yang mengisyaratkan hal yang serupa dengan perkataan ini : “Bahwa manusia itu ada fasenya. Tidak boleh kita berinteraksi dengan manusia hanya menggunakan satu fase saja.”

Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam di zaman beliau yang mulia pernah bersabda :

“لا تبدؤوا أهل الكتاب بالسلام وإذا رأيتموهم في طريق فاضطروهم إلى أضيقه “

“Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada ahli kitab. Apabila kalian melihat mereka di jalan, maka desaklah mereka sampai menyingkir ke pinggir.”

Siapakah diantara kita yang bisa menerapkan hadits ini saat ini?!! Sama saja baik di negeri Barat maupun Timur!! Bahkan di negeri dua tanah suci yang mulia.

Jawabnya adalah tidak ada (yang bisa). Apa sebabnya?? Kami katakan, (hal ini disebabkan) perbedaan fase.

Saya katakan : apakah perbedaan fase hanya berlaku untuk hal itu saja? Ataukah juga berlaku untuk hal itu dan selainnya, baik berupa ucapan maupun perbuatan?!

Jadi, wajib bagi kita memperhatikan semua hal ini. Adapun menjadikan semua manusia itu seakan-akan mereka ini adalah alat salin, maka ini termasuk kezhaliman. Atau menjadikan dakwah salafiyah seakan-akan organisasi militer, kerjakan! Jangan kerjakan! Maka ini adalah penyelewengan dan perobahan.

Jadi, buah dari majelis tersebut adalah kebaikan yang banyak, dan beliau banyak kembali (bertaubat) kepada kebenaran. Sembari kami tetap memohon supaya Alloh menambah lebih. Akan tetapi, kami berkeinginan untuk menjadi penolong bagi saudara-saudara kami dari syaithan, bukannya malah kami menjadi penolong bagi syaithan terhadap saudara-saudara kami.

Dakwah salafiyah itu adalah dakwah yang mengeluarkan manusia dari kegelelapan menuju kepada cahaya.

Sumber : http://almenhaj.net


http://abdullahalaussie.multiply.com/journal/item/3686

Thursday, February 26, 2009

How to cleanse oneself of pig-related impurity

When i was small, i went abroad with my family. During the plane trip, we were given biscuits and we ate them , not knowing they contained lard (made from pig). As soon as my mother found out, she forbade us from eating them anymore. As far as i can remember, we did not wash our hands or mouth using water and earth (6 times with plain water, once with water mixed with earth) as the Prophet
instructed whenever a muslim has contact with pigs or anything derived from pigs. A few years later, again when i was abroad, i accidently ate pork. Again, i did not wash my mouth using water mixed with earth.
My question is, these two incidents happened a few years ago and there are no remains of the pork that we ate either in smell, taste or colour on either our hands or in our mouths. Do we still have to clean them now? I am afraid Allah will not accept any of our prayers because of these two incidents long ago.
Please help me in clarifying this matter.

Praise be to Allaah.

There is no sin on you for eating pig meat without intending to, because Allaah says (interpretation of the meaning):

“And there is no sin on you concerning that in which you made a mistake, except in regard to what your hearts deliberately intend. And Allaah is Ever Oft-Forgiving, Most Merciful”

[al-Ahzaab 33:5]

And the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said: “Allaah has forgiven my ummah for mistakes, forgetfulness and that which they are forced to do.” Narrated by Ibn Maajah, 2043; classed as saheeh by al-Albaani.

The Muslim should be cautious with regard to food, especially if he is in a non-Muslim country whose people eat impure foods.

With regard to how to cleanse oneself of pig-related impurity, some scholars are of the view that it should be washed seven times, one of which should be with earth, by analogy with dogs.

But the correct view is that pig-related impurity should be washed only once. Al-Nawawi (may Allaah have mercy on him) said in his commentary on Muslim (Sharh Muslim): “Most of the scholars were of the view that pig-related impurity does not have to be washed seven times. This is the view of al-Shaafa’i, and it has the strongest evidence.”

This is what Shaykh Ibn ‘Uthaymeen thought most likely to be correct, as he said in al-Sharh al-Mumti’, 1/495): “The fuqaha’ (may Allaah have mercy on them) likened (pig-related) impurity to dog-related impurity, because pigs are dirtier than dogs, so the ruling should apply even more so.

This is a weak analogy, because pigs are mentioned in the Qur’aan and they existed at the time of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him), and there is no report which likens them to dogs. So the correct view is that pig-related impurity is like any other kind of impurity, and there is no need to wash seven times, one of which should be with dust or dirt.”

See also the answer to question no. 22713.

The correct view concerning washing other types of impurity is that whatever will remove the impurity is sufficient, and there is no specific number of times it must be washed.

No matter what the correct view with regard to cleansing oneself after touching pigs, you do not have to wash any part of your bodies now, and that does not have any effect on your prayers.

And Allaah knows best.