Thursday, September 13, 2007

Shalat Tarawih (bhgn 2)


2. Jumlah Rakaat Shalat Tarawih

Orang-orang berbeda pendapat dalam memberikan batasan jumlah rakaat shalat tarawih. Pendapat yang sejalan dengan petunjuk Muhammad shallAllahu 'alayhi wa sallam adalah delapan rakaat di luar witir. Hal tersebut sesuai dengan hadits 'Aisyah radhiyAllahu 'anha:

"Nabi shallAllahu 'alayhi wa sallam tidak pernah mengerjakan shalat sunat lebih dari sebelas rakaat, baik pada malam bulan ramadhan maupun bulan-bulan lainnya." [1]

Apa yang disampaikan oleh 'Aisyah radhiyAllahu 'anha itu dibenarkan oleh Jabir bin 'Abdillah radhiyAllahu 'anhu, di mana dia menyebutkan:

"Bahwa Nabi shallAllahu 'alayhi wa sallam pada saat menghidupkan malam dengan orang-orang pada bulan Ramadhan, beliau mengerjakan delapan rakaat dan mengerjakan shalat witir." [2]

Setelah 'Umar bin Khaththab menghidupkan Sunnah ini, orang-orang pun bersepakat untuk mengerjakannya sebelas rakaat, sesuai dengan Sunnah yang shahih, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Malik (I/115) dengan sanad yang shahih, melalui jalan Muhammad bin Yusuf dari as-Sa-ib bin Yazid, bahwasanya dia bercerita: " 'Umar bin al-Khaththab pernah menyuruh 'Ubay bin Ka'ab dan Tamim ad-Dari untuk mengimami orang-orang dengan sebelas rakaat." Selanjutnya dia berkata: "Pada saat itu imam membaca 200 ayat sehingga kami bersandar pada sebuah tongkat karena lamanya berdiri, dan kami tidak kembali kecuali di ambang fajar."

Kemudian Yazid bin Khushaifah menyalahinya seraya berkata: "Shalat tarawih dikerjakan dua puluh rakaat." Dan ini jelas tidak benar, karena Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah (meyakinkan) daripada Yazid bin Khushaifah. Dan yang seperti itu tidak bisa disebut sebagai tambahan status tsiqah, dan ia berstatus maqbul. Sebab, penambahan tsiqah tidak mengundang penentangan, melainkan di dalamnya terkandung penambahan ilmu atas apa yang diriwayatkan oleh tsiqah yang pertama, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Fath-hul Mughiits (I/199), Mahaasinul Ishtilaah (hal. 185), dan al-Kifaayah (hal. 424-425). Seandainya riwayat Yazid itu shahih, maka ia berupa perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf berupa ucapan. Dan ucapan itu lebih dikedepankan atas perbuatan, sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam ilmu Ushul Fiqih.

Di dalam kitab al-Mushannaf (7730), 'Abdurrazzaq meriwayatkan dari Dawud bin Qais dan lain-lain, dari Muhammad bin Yusuf, dari as-Sa-ib bin Yazid bahwa 'Umar telah menyatukan orang-orang pada bulan Ramadhan di bawah pimpinan Imam 'Ubay bin Ka'ab dan Tamim ad-Dari, dengan dua puluh satu rakaat, mereka membaca 200 ayat, dan mereka pulang di ambang fajar."

Riwayat ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhammad bin Yusuf, dari as-Sa-ib bin Yazid. Dan lahiriyah sanad riwayat 'Abdurrazzaq adalah shahih, di mana semua rijalnya adalah tsiqah.

Sebagian mereka telah berujjah dengan riwayat ini dengan anggapan bahwa hadits Muhammad bin Yusuf mudhtharib. Hal itu dimaksudkan untuk menggugurkannya dan kemudian menyerahkan kepada mereka pendapat yang menyatakan shalat tarawih itu dua puluh rakaat yandisebutkan di dalam hadits Yazid bin Khushaifah.

Itu jelas anggapan yang tida dapat diterima, karena hadits tersebut berstatus mudhtharib, diriwayatkan dari satu perawi dua kai atau lebih, atau dua perawi atau beberapa perawi dengan sisi yang berbeda-beda, saling berdekatan, mempunyai kedudukan sama, dan tidak ada yang mentarjih. [3]

Dan syarat tersebut sama sekali tidak terdapat di dalam hadits Muhammad bin Yusuf karena riwayat Malik lebih rajih daripada riwayat 'Abdurrazzaq.

Kami kemukakan hal ini dengan asumsi keselamatan sanad 'Abdurrazzaq dari 'illat, etapi masalahnya berbeda dengan hal tersebut. Dan kami akan jelaskan sebagai berikut:

  1. Yang meriwayatkan hadits dari 'Abdurrazzaq lebih dari satu orang, yang di antaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin 'Ibad ad-Dabari.
  2. Hadits ini dari riwayat ad-Dabar, dari 'Abdurrazzaq dan dialah yang meriwayatkan kitab ash-Shaum. [4]
  3. Ad-Dabari telah mendengar beberapa karya 'Abdurrazzaq, sedang dia pada saat itu baru berusia tujuh tahun. [5]
  4. Ad-Dabari bukan sebagai perawi satu hadits pun dan dia bukan termasuk rijal ini (perawi-perawi hadits). [6]
  5. Oleha karena itu, terjadi banyak kesalahan di dalam riwayatnya dari 'Abdurrazzaq. Telah pula diriwayatkan dari 'Abdurrazzaq beberapa hadits munkar. Dan beberapa orang ulama telah mengumpulkan berbagai kesalahan dan kekeliruan ad-Dabari di dalam kitab Mushannaf 'Abdirrazzaq. [7]
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa riwayat ini munkar, di mana ad-Dabari telah menentang perawi yang lebih tsiqah daripada dirinya. Dan yang membuat hati tenang, bahwa hal tersebut temasuk dari kekeliruannya, di mana dia menyalahi yang sebelas rakaat. Dan Anda telah mengetahui bahwa dia banyak melakukan kekeliruan. [8]

Oleh karena itu, riwayat ini munkar dan menyimpang sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil). Sehingga tegaslah bahwa Sunnah yang shahih yang diriwayatkan di dalam kitab al-Muwaththa' (I/115) adalah dengan sanad shahih, dari Muhammad bin Yusuf, dari as-Sa-ib bin Yazid. Karenanya, berhati-hatilah. [9]

[Ditukil daripada kitab Meneladani Shaum Rasulullah ShallAllahu 'alayhi wa Sallam oleh Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid (al-Halabi), terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i. Judul asli: Sifat Shaumun-Nabi ShallAllahu 'alayhi wa Sallam fi Ramadhan.]


------------------------------
Nota kaki:
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (III/16), dan Muslim (736). Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam bukunya, Fat-hul Baari (IV/54) mengatakan, "Demikianlah kenyataannya dengan keberadaannya yang lebih tahu tentang keadaan Nabi shallAllahu 'alayhi wa sallampada hala ari daripada orang lain."
[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab Shahihnya (920), ath-Thabrani di dalam kitab ash-Shaghir (hal. 108), Ibnu Nashr di dalam kitab, Qiyaamul Lail (hal.90), dan sanad hadits ini hasan dalam beberapa syahid.
[3] Tadriibur Raawi, (I/262)
[4] Al-Mushannaf (IV/153)
[5] Miizaanul I'tidaal (I/181)
[6] Miizaanul I'tidaal (I/181)
[7] Miizaanul I'tidaal (I/181)
[8] Lihat secara cermat kitab, Tahdziibut Tahdziib (VI/310) dan juga kitab Miizaanul I'tidaal (I/181)
[9] Untuk mendapatkan keterangan lebih rinci sekaligus untuk menghilangkan kesimpangsiuran, maka silakan lihat:
  1. Al-Kasyfush Shariih 'an Aghlaathish Shaabuuni fii Shalatit Taraawiih, karya Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid (al-Halabi).
  2. Al-Mashaabih fii Shalaatit Taraawiih, karya as-Suyuthi, dengan komentarnya, terbitan Daar 'Ammar

No comments: