Thursday, September 13, 2007
Shalat Tarawih (bhgn 1)
1. Disyari'atkannya Shalat Tarawih.
Shalat tarawih disyari'atkan untuk dikerjakan dengan berjama'ah. Hal itu didasarkan pada hadits 'Aisyah (radhiyAllahu 'anha):
Bahwa Rasulullah (shallAllahu 'alayhi wa sallam) pernah pada suatu malam keluar untuk mengerjakan shalat di masjid. Kemudian orang-orang mengikuti shalat beliau. Keesokan harinya orang-orang membicarakan hal tersebut. Kemudian mayoritas dari mereka berkumpul, lalu beliau mengerjakan shalat dan mereka pun shalat bersama beliau. ada pagi harinya orang-orang membicarakan hal tersebut, sehingga pada malam ketiga, jama'ah masjid semakin bertambah banyak. Kemudian Rasulullah (shallAllahu 'alayhi wa sallam) keluar dan mengerjakan shalat seperti biasa. Dan pada malam keempat, masjid itu sudah tidak lagi mampu menampung jama'ahnya, sehingga beliau hanya keluar untuk mengerjakan shalat Shubuh. Setelah selesai menunaikan shalat Shubuh, beliau menghadap orang-orang, lalu mengucapkan syahadat dan kemudian berkata:
"Sesungguhnya aku tidak mengkhawatirkan posisi (keimanan) kalian, hanya saja aku khawatir shalat tersebut akan diwajibkan kepada kalian sehingga kalian tidak mampu mengerjakannya." Kemudian Rasulullah (shallAllahu 'alayhi wa sallam) meninggal dunia dan shalat tarawih tetap saja berjalan seperti itu. [1]
Setelah Rasulullah (shallAllahu 'alayhi wa sallam) wafat, syari'at telah berjalan mantap, dan kekhawatiran pun sudah sirna, sehingga pensyari'atan shalat tarawih secara berjama'ah tetap berdiri tegak karena tidak adanya 'illat. Sebab, 'illat itu berputar bersamaan dengan ma'alul, ada maupun tidak ada.
Kemudian, Sunnah ini dihidupkan kembali oleh Khalifah 'Umar bin al-Khaththab, sebagaimana hal tersebut diceritakan oleh 'Abdurrahman bin 'Abdin al-Qariyyu [2], dia bercerita, "Aku penah pergi ke masjid bersama 'Umar bin al-Khaththab (radhiyAllahu 'anhu) pada suatu malam di bulan Ramadhan, ternyata orang-orang terbagi menjadi beberapa kelompok dan terpisah-pisah. Ada seseorang yang mengerjakan shalat untuk dirinya sendiri, lalu ada orang yang mengerjakan shalat yang kemudian diikuti oleh serombongan orang di belakangnya.
Maka 'Umar berkata, "Sesunggunya, menurut pendapatku, seandainya aku menyatukan orang-orang itu dengan satu imam, niscaya hal itu akan menjadi lebih baik." Kemudian 'Umar bertekad dan menyatukan mereka di bawah pimpinan Imam 'Ubay bin Ka'ab. Kemudian aku keluar bersamanya pada malam yang lain, sedang orang-orang telah mengerjakan shalat dengan mengikuti imam mereka. 'Umar berkata: "Sungguh ini merupakan sebaik-baik bid'ah. Dan yang tidur menginggalkannya (meninggalkan shalat) lebih baik daripada yang bangun (mengerjakan shalat). Dan orang-orang bangun (mengerjakan shalat) di permulaannya (permualaan waktu)." [3]
[Ditukil daripada kitab Meneladani Shaum Rasulullah ShallAllahu 'alayhi wa Sallam oleh Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid (al-Halabi), terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i. Judul asli: Sifat Shaumun-Nabi ShallAllahu 'alayhi wa Sallam fi Ramadhan.]
----------------------------
Nota kaki:
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (III/220) dan Muslim (761).
[2] 'Abdin (dengan menggunakan harakat tanwin) dan al-Qariyyu dengan menggunakan syiddah pada huruf ya' tanpa adanya tambahan. Lihat kitab al-Lubaab fii Tadziibil Ansaab (III/6-7), karya Ibnul Atsir.
[3] Diriwayatkan oleh Bukhari (IV/218). Dan tambahan itu milik Imam Malik (I/114) dan 'Abdurrazzaq (7723).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment