Sunday, January 06, 2008

Bab: Ucapan "Andaikata"


Dan Allah Ta'ala berfirman:

يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ مَّا قُتِلْنَا هَاهُنَا

"Mereka (orang-orang munafiq) berkata, 'Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tiak akan dibunuh (dikalahkan) di sini." (QS. Aali 'Imraan (3): 154)

Dan firman-Nya:

الَّذِينَ قَالُواْ لإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُواْ لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا

"Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang, "Andaikata (sekiranya) mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh.' " (QS. Aali 'Imraan (3): 168)

Diriwayatkan di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyAllaahu 'anh bahawa Rasulullah shallAllaahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Bersungguh-sungguhlah dalam mencari apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah serta jangan sekali-kali kamu bersikap lemah. Apabila kamu ditimpa suatu kegagalan, janganlah kamu mengatakan, 'Seandainya aku berbuat demikian dan demikian', akan tetapi, ucapkanlah, 'QaddarAllaahu maa syaa-a fa'al' (Allah telah mentakdirkan hal ini dan segala yang dikehendaki-Nya pasti terjadi). Sesungguhnya ucapan 'Seandainya' akan membuka (pintu) perbuatan syaitan."


KANDUNGAN BAB
  1. Tafsir surah Aali 'Imraan ayat 154 dan ayat 168. [1]
  2. Larangan yang sangat tegas untuk mengucapkan "Seandainya" tatkala ditimpa musibah.
  3. Alasan larangan tersebut adalah hal itu akan membuka celah syaitan untuk bersaksi.
  4. Rasulullah shallAllaahu 'alaihi wa sallam menjelaskan ucapan yang baik (ketika ditimpa musibah, pent.)
  5. Perintah untuk bersungguh dalam mencari sesuatu yang bermanfaat dan memohon pertolongan kepada Allah.
  6. Larangan untuk bersikap lemah yang kontradiktif dengan perintah tadi.
[Diadaptasi dari Kitab Tauhid: Memurnikan La ilaha illAllah oleh Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab, terbitan Media Hidayah (Indonesia) dengan rujukan kepada kitab Fathul Majid: Penjelasan Kitab Tauhid (Edisi Revisi) oleh Syaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh, terbitan Pustaka Azzam.]


Tukilan dari kitab Fathul Majid:

Ini (Surah Aali 'Imraan (3): 154) adalah perkataan sebahagian kaum munafiq pada perang Uhud kerana mereka takut, khawatir dan lemah.

Ibnu Ishaq berkata, "Yahya bin Abbad bin Abdullah bin Zubair bercerita kepadaku dari ayahnya dari Abdullah bin Zubair." Ia mengatakan, bahawa Zubair berkata, "Sungguh aku mendapati diriku bersama Rasulullah shallAllaahu 'alaihi wa sallam ketika rasa takut telah menimpa kami dengan amat sangat. Allah mengirimkan tidur kepada kami, tidak seorang pun dari kami melainkan dagunya berada di dadanya. Ia berkata, 'Maka demi Allah sungguh aku mendengan ucapan Mu'attib bin Qusyair, aku tidak mendengarnya melainkan bagaikan mimpi.' Ia berkata, 'Andaikata kita memiliki sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, nescaya (kita tidak akan terkalahkan dan) tidak akan ada yang terbunuh di antara kita di sini.'

Lalu aku menghafal perkataan darinya, dan pada saat itu Allah Azza wa Jalla menurunkan, 'Mereka (orang-orang munafiq) mengatakan: Andaikata kita memiliki sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, nescaya (kita tidak akan terkalahkan dan) tidak akan ada yang terbunuh di antara kita di sini.' Hal itu disebabkan pernyataan Mu'attib tersebut." (HR. Ibnu Abi Hakim)


Tukilan dari kitab Fathul Majid:

(Sesungguhnya ucapan "seandainya" akan membuka (pintu) perbuatan syaitan.) Maksudnya kerana perkataan itu mengandung kekecewaan terhadap apa yang telah berlalu, penyesalan dan cacian terhadap taqdir, dan itu bererti suatu sikap yang menafikan sikap sabar dan ridha. Sabar adalah wajib dan iman kepada taqdir adalah wajib, Allah Ta'ala berfirman, "Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis di dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu tidak terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS. Al-Hadiid (57): 22-23)

Amirul Mukmimin 'Ali bin Abu Thalib radhiyAllaahu 'anh mengatakan, "Kedudukan sabar dalam iman bagaikan kedudukan kepala dari jasadnya." Imam Ahmad berkata, "Allah menyebutkan sabar dalam 90 tempat di dalam Al-Qur'an."

Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyyah) rahimahullaah berkata ketika menuturkan hadits ini selengkapnya, "Janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah dalam menjalankan perintah dan janganlah kamu mengeluh dalam menerima taqdir. Di antara oran-orang ada yang melakukan kedua keburukan ini, maka Nabi shallAllaahu 'alaihi wa sallam menyuruh supaya bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu yang bermanfaat dan memohon pertolongan kepada Alla. Kata perintah menunjukkan kewajiban. Kalau tidak menunjukkan kewajiban, bererti dianjurkan. Beliau melarang bersikap lemah dengan sabdanya, 'Sesunggunya Allah mencela bersikap lemah.'

Orang yang lemah adalah kebalikan dari orang-orang yang suka memberikan pertolongan, maka perintah bersikap sabar dan larangan dari bersikap lemah adalah sesuatu yang diperintah di dalam banyak tempat (Al-Qur'an dan Hadits), kerana manusia pada dasarnya berada di antara dua perkara: perkara yang diperintah untuk melaksanakan, maka ia harus bersungguh-sungguh dalam melaksanakannya dan memohon pertolongan kepada Allah dan tidak bersikap lemah. Kemudian, perkara yang menimpa dirinya tanpa usaha darinya, maka ia harus bersabar dan tidak mengeluh darinya.


[Diadaptasi dari kitab Fathul Majid: Penjelasan Kitab Tauhid (edisi revisi) oleh Syaikh 'Abdurrahman Hasan Alu Syaikh, terbitan Pustaka Azzam (Indonesia).]

No comments: