[Ditukil daripada kitab Meneladani Rasulullah shallAllaahu 'alaihi wa sallam dalam Berhari Raya tulisan Syaikh 'Ali Hasan bin 'Ali al-Halabi al-Atsari, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i. Judul asli: Ahkaamul 'Iedain fis Sunnah al-Muthahharah, terbitan Daar Ibnu Hazm, Bairut, Libanon]
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kalian bersyukur." (QS. Al-Baqarah: 185)
Telah tetap suatu riwayat bahwa Nabi shallAllaahu 'alaihi wa sallam biasa berangkat menunaikan shalat pada hari raya 'Ied, lalu beliau bertakbir hingga sampai di tempat pelaksanaan shalat, bahkan sampai shalat akan dilaksanakan. Dan jika shalat dilaksanakan, beliau menghentikan bacaan takbir. [1]
Seorang ahli hadits, al-Albani mengemukakan: "Di dalam hadits tersebut terkandung dalil yang menunjukkan disyari'atkannya apa yang dikerjakan oleh kaum muslimin berupa takbir dengan suara lantang selama dalam perjalanan menuju ke tempat pelaksanaan shalat (tanah lapang), meskipun banyak dari mereka mulai meremehkan Sunnah ini."
Dan pada kesempatan yang baik ini, perlu juga diingatkan bahwa bertakbir dengan suara keras tidaklah disyari'atkan secara bersama-sama dengan satu suara (koor), sebagaimana yang dilakukan oleh sebahagian orang. Demikian juga setiap dzikir yang disyariatkan untuk membacanya dengan suara keras mahupun tidak, maka tidak disyari'atkan untuk dilakukan dengan bersama-sama seperti yang telah disebutkan tadi. Hendaklah kita berhati-hati untuk tidak melakukan hal tersebut. [2] Dan hendaklah kita senantiasa mengarahkan pandangan kita kepada keyakinan bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallAllaahu 'alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya tentang waktu pelaksanaan takbir pada shalat 'Iedul Fithri dan 'Iedul Adh-ha, maka ida pun memberikan jawapan: "Segala puji hanya bagi Allah, pendapat yang benar mengenai pelaksanaan takbir ini dan yang menjadi pendapat Jumhur (mayoritas) ulama salaf dan fuqaha (para ahli fiqih) dari kalangan Sahabat dan Tabi'in adalah bertakbir dari waktu fajar pada hari 'Arafah sampai akhir hari Tasyriq, setiap kali selesai shalat. Dan disyari'atkan bagi setiap orang untuk membaca takbir denga suara lantang pada saat berangkat menuju tempat shalat 'Ied. Yang demikian itu dengan kesepakatan empat imam madzhab." [3]
Penulis katakan: "Pendapat Ibnu Taimiyyah rahimahullaah yang menyebutkan: 'Setiap kai selesai shalat,' -secara khusus- adalah tidak berdalil sama sekali, dan yang benar adalah setiap waktu, tanpa adanya pengkhususan."
Dan hal tersebut diperkuat oleh apa yang dikemukakan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab al-Iidain dari kitab Shahihnya (II / 461), bab Bertakbir Pada Seluruh Hari di Mina (hari-hari Tasyriiq) dan Apabila Menuju 'Arafah.
'Umar radhiyAllaahu 'anhu biasa bertakbir di kemahnya di Mina sehingga terdengar oleh orang-orang yang hadir di masjid lalu mereka pun bertakbir. Juga orang-orang yang sedang berada di pasar ikut bertakbir sehingga Mina bergemuruh oleh bacaan takbir.
Dan Ibnu 'Umar juga bertakbir di Mina pada hari-hari tersebut, setelah selesai shalat, di atas tempat tidur, lantai, tempat duduk, dan dalam perjalanannya selama hari-hari itu.
Maimunah juga bertakbir pada hari raya kurban. Dan kaum wanita pun ikut bertakbir di belakang Abbas bin 'Utsman dan 'Umar bin 'Abdil 'Aziz selama malam-malam hari Tasriq bersama kaum pria di masjid.
Dan Ibnu 'Umar jika berangkat ke tanah lapang pada hari raya 'Iedul Fithri dan 'Iedul Adh-ha membaca takbir dengan suara lantang sehingga sampai di tempat pelaksanaan shalat, dan kemudian bertakbir sampai imam datang. [4]
Sebatas pengetahuan saya (penulis), tidak ada satu hadits Nabi pun yang shahih dalam menjelaskan sifat takbir. Akan tetapi ada riwayat dari sebagian Sahabat Nabi shallAllahu 'alayhi wa sallam, seperti Ibnu Mas'ud radhiyAllaahu 'anhu pernah mengucapkan:
الله أكبر الله أكبر, لا إله إلا الله والله أكبر, الله أكبر ولله الحمد
"Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah semata. Dan Allah Mahabesar, Allah Mahbesar, dan segala puji hanya bagi Allah." [5]
Ibnu 'Abbas juga pernah mengucapkan:
الله أكبر الله أكبر, الله أكبر ولله الحمد, الله أكبر وأجَلَّ, الله أكبر على ما هدانا
"Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, segala puji hanya bagi Allah. Allah Mahabesar lagi Mahaagung. Dan Allah Mahabesar atas petunjuk yang telah diberikan kepada kita." [6]
Dan diriwayatkan oleh Abdurrazzaq [7] yang di antara jalannya terdapat pada al-Baihaqi di dalam kitab as-Sunan al-Kubraa (III / 316), dengan sanad shahih dari Salman al-Khair radhiyAllaahu 'anhu, dia mengatakan:
كَبِِِّرُوْا الله: الله أكبر, الله أكبر, الله أكبر كبيرًا
"Agungkanlah Allah dengan menyebut: Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar."
Cukup banyak orang awam yang menyalahi dzikir yang bersumber dari kaum Salaf, dengan membaca dzikir-dzikir lain, melakukan penambahan, serta membuat lafazh-lafazh baru yang tidak memiliki dasar sama sekali. Sehingga al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah mengatakan di dalam kitabnya, Fat-hul Baari (II / 536): "Dan pada zaman sekarang ini telah terjadi penambahan [8] dalam hal takbir tersebut yang tidak memiliki dasar sama sekali."
_____________
Nota kaki:
[1] HR. Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al-Mushannaf, dan al-Mahamili di dalam kitab Shalaatul 'Iidain, dengan sanad yang sahih, tetapi berstatus mursal. Akan tetapi ia memiliki beberapa syahid (penguat) yang memperkuatnya. Lihat di dalam kitab Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah (170). Dan permulaan takbir pada hari raya 'Ied adalah waktu berangkat ke tempat pelaksanaan shalat (tanah lapang).
[2] Silsilatul al-Ahaadtis ash-Shahiihah (I/121). Syaikh al-'Allamah Hamud at-Tuwaijiri rahimahullah memiliki satu risalah khusus mengenai penolakan takbir yang dibaca secara bersama-sama dan telah dicetak.
[3] Majmuu' al-Fataawaa (XXIV / 220). Lihat juga kitab Subulus Salaam (II / 71-72).
[4] HR. Ad-Daruquthni, Ibnu Abi Syaibah dan lain-lainnya, dengan sanad shahih. Lihat juga kitab Irwaa-ul Ghaliil (650).
[5] HR. Ibnu Abi Syaibah (II / 168) dengan sanad shahih.
[6] HR. Al-Baihaqi (III / 315) dan sanad shahih.
[7] Dan saya (penulis) tidak mendapatkannya di dalam Mushannaf-nya.
[8] Bahkan tambahan yang sangat banyak sekali.